Baru baru ini banyak yang melontarkan kelimat diatas kepada saya. Saya yakin, teman-teman yang lain juga banyak mendapatkan pertanyaan diatas. Memang sekembali dari negeri orang, "mantan" mahasiswa exchange selalu mendapatkan pertanyaan diatas.
Saya senang jika ada mahasiswa yang tertarik mengikuti program internasional. Entah beralasan membuka wawasan, mendapatkan pengalaman internasional, pengen belajar budaya lain, tertarik merasakan kualitas pendidikan yang berbeda, atau bahkan berinteraksi langsung dengan orang asing di negeri luar. Memang, hal itulah yang ingin ditanamkan bagi mahasiswa ITS dalam program internasionalisasi yang selama ini dikoar koarkan oleh UPT Kerjasama dan Hubungan Internasional ITS.
Dari sekian banyak program internasional yang ditawarkan ITS, 99 persen diantaranya menyertakan paspor dalam kelengkapan dokumen seleksi. Tak hanya ITS, ketika saya coba berselancar di web kampus lain, ternyata, persyaratan yang sama saya temukan di tiap program internasionalnya.
Saya ingat tulisan Rhenald Kasali yang mendorong mahasiswanya membuat paspor sedini mungkin. Saya bayangkan, jika dosen ITS melakukan hal yang sama, mungkin tak sedikit mahasiswa yang dengan keras menentang hal itu. Yang mahal lah alasannya, tak ada duit, malas ngurus, gak bisa pulang kampung, atau bahkan ada yang tak tau fungsi paspor.
Saya katakan demikian, karena ternyata diantara sekian banyak mahasiswa yang menanyakan pertanyaan diatas kepada saya, melontarkan jawaban serupa ketika saya minta urus paspornya. Rhenald Kasali benar bahwa paspor merupakan surat ijin memasuki dunia global. Namun hal ini belum ngeh di pikiran mahasiswa ITS.
Kali pertama saya mengurus paspor, keluarga dan teman saya heran.
"Untuk apa mahasiswa ITS bikin paspor?"
"kita bukan orang berada, gak mungkin bisa ke luar negeri,"
"kalo mau keluar negeri, mending belajar dulu. biar dapat beasiswa S2 disana,"
Hanya abang saya yang sangat mendukung membuatkan paspor. Ia adalah seorang jurnalis yang ternyata sangat melek dengan isu global. Ia sadar bahwa sekarang bukan jamannya lagi sembunyi di dalam tempurung merah putih.
Saya membuat paspor pada pertengahan 2014, dengan harapan segera mendapatkan kesempatan menginjakkan kaki di negeri orang. Diawal 2016, saya diberi kesempatan berkuliah di kampus ternama di Bangkok, Universitas Chulalongkorn. Selama rentang 2014 hingga 2016, saya menjadikan paspor saya sebagai motivasi untuk melancong ke negeri asing.
Bagi saya, membuat paspor tidaklah murah. Harganya cukuplah buat bayar kosan atau biaya makan hampir sebulan. Saya juga yakin, banyak yang beralasan tak punya duit untuk bikin paspor. Namun, saya sadar, ketika tak punya paspor, saya tak bisa daftar program internasional. Kalaupun bisa, sangat besar kemungkinan tidak lolosnya.
Selain itu, saya merasakan paspor merupakan investasi terbesar dalam hidup saya. Paspor lebih dari sekedar identitas internsional, ia membuka kesempatan bagi saya untuk berani terjun ke dunia berbeda. Ia juga mendorong saya menjadi lebih kompeten dan berdaya saing lebih. Paspor merupakan amunisi dalam perang perebutan beasiswa.
Saya sadar, ITS membukakan banyak peluang bagi mahasiswanya untuk belajar ke negeri luar. Selain menyediakan programnya, ITS juga turut membantu secara finansial. tak sedikit yang mengakui hal ini. buktinya, ratusan mahasiswa berhasil menginjakkan kaki di negeri luar, baik melalui program exchange, konferensi, program pembinaan kepemimpinan, pelatihan, ataupun program lainnya.
Saya sangat berharap semakin banyak mahasiswa ITS yang mendapatkan kesempatan berkunjung ke negeri asing. Saya pun menyarankan segeralah membuat paspor. Memang butuh merogoh kocek yang banyak, tetapi tak sebanding dengan kesempatan besar yang akan anda temukan didepan.
Adven FN Hutajalu
Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi ITS
Angkatan 2013