Terdapat banyak tantangan yang akan dihadapi ITS dalam MEA. ITS dan juga perguruan tinggi lainnya tentu memiliki andil besar dalam mempersipakan SDM yang terampil dan berdaya saing global. Persaingan pun terlihat semakin ketat seiring bertumbuhnya kreativitas dan inovasi para agent of change.
Segudang prestasi membanggakan saja belum cukup untuk mengukur kesiapan ITS dalam MEA. Karena sejatinya bekal yang dibawa haruslah lebih besar. Sebagai institusi pendidikan terdapat berbagai tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai kesiapan ITS secara institusional.
Kesiapan Mahasiswa
Diakui atau tidak, nyatanya masih banyak mahasiswa ITS yang belum terlalu memahami wawasan perihal MEA. Sebagian mahasiswa yang ditemui ITS Online tidak menganggap MEA sebagai tantangan yang serius. Memang tak ada yang perlu ditakuti dari MEA, namun setidaknya ini menjadi hal penting yang harus diperhatikan.
Tak hanya itu, kemampuan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris menjadi kewajiban mutlak yang harus dikuasai mahasiswa ITS agar dapat bersaing dalam MEA. Namun pada kenyataannya tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh dengan angka kelulusan TOEFL yang harus melampaui 477. Angka itu dianggap terlalu tinggi bagi sebagian mahasiswa.
"Jika kita menguasai dua bahasa, maka kita akan lebih mahir dalam bahasa asli kita. Jika menguasai tiga bahasa maka kita akan lebih mahir dalam dua bahasa yang sudah kita kuasai, begitu seterusnya," ungkap Dr Maria Anitya Sari, Ketua ITS International Office menyemangati mahasiswa dalam sebuah workshop setahun silam.
Berbagai upaya pada dasarnya terus menerus dilakukan setiap jurusan di ITS dalam menunjang kemampuan berbahasa Inggris mahasiswanya. Jurusan Teknik Lingkungan misalnya, terdapat sebuah klub khusus bagi mahasiswa yang belum memenuhi syarat kelulusan TOEFL. Mereka dibimbing dan diajarkan hingga kemampuannya meningkat.
International Exposure
Cukup banyak program-program internasional di ITS yang mendatangkan mahasiswa asing ke kampus perjuangan. Seperti Community and Technological Camp (CommTECH) dan ASEAN Youth Collaboration Festival (AYCF). Selain agar ITS semakin dikenal oleh dunia, juga meningkatkan international exposure bagi mahasiswa ITS. Pun demikian dengan mahasiswa ITS yang melancong ke berbagai negara untuk student exchange, internship atau forum internasional.
Namun dalam kenyataannya kultur budaya yang dimiliki sivitas akademika ITS belum siap menjadi tuan rumah bagi tamu asing. Contoh kecil dapat terlihat dengan masih ada beberapa mahasiwa yang enggan untuk sekedar bertegur sapa dengan mahasiswa internasioanl. Alasan mereka sederhana, takut berbicara Bahasa Inggris.
Lebih dari itu, berdasarkan investigasi yang dilakukan ITS Online, masih terlihat adanya kesenjangan antara mahasiswa asing dengan mahasiswa ITS. Beberapa mahasiswa asing tersebut mengaku belum terlalu nyaman dan merasa terasingkan hanya karena perbedaan budaya dan bahasa.
Akreditasi
Tak bisa dipungkiri, ITS hingga saat ini telah mendapatkan pengakuan baik secara nasional. Bahkan ITS berada pada urutan kelima sebagai perguruan tinggi terbaik versi Kemristek Dikti. Hal tersebut tentu ditunjang dengan laboratorium ITS yang telah diakui dan juga dosen ITS yang telah tersertifikasi.
Dewasa ini akreditasi dan sertifikasi seolah menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap institusi. ”Kedua hal itu menjadi kompetensi paling mendasar di era MEA,” ujar Dr Bambang Lelono Widjiantoro, ST MT, Dekan Fakultas Teknologi Industri.
Beruntungnya, sudah ada empat jurusan di ITS yang memperoleh akreditasi AUN (ASEAN University Network). Mereka adalah Teknik Industri, Teknik Informatika, Teknik Lingkungan, dan Statistika. Masih ada tujuh jurusan lagi yang akan ditargetkan mendapat sertifikasi AUN pada tahun 2016.
Namun, itu baru skala ASEAN. Sementara untuk akreditasi skala global, baru Jurusan Teknik Industri yang memperoleh akreditasi ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology). Meskipun dalam kuantitas cukup tertinggal jika dibandingkan perguruan tinggi unggulan lainnya di Indonesia, kita tetap patut berbangga. Pasalnya, ini akan membuka jalan bagi jurusan lain untuk segera terakreditasi.
Sehingga untuk menjadi perguruan tinggi berdaya saing global, rupanya ITS masih perlu melakukan segenap aksi yang lebih gencar untuk menyetarakan kualitasnya dengan berbagai universitas, baik dalam maupun luar negeri. Sejatinya ada peluang besar dalam menjalin kerjasama dalam hal pencapaian akreditasi. Karena bagaimanapun, eksistensi merupakan hal penting agar ITS dapat diperhitungkan di dunia internasional.
Penelitian
Survey teranyar dari Quacquarelly Symonds (QS) World University Ranking 2015, ITS hanya mampu meraih peringkat 701 ke atas di tingkat global dan berada di urutan ketujuh di Indonesia. Salah satu metodologi dalam penilaian tersebut adalah citation per faculty, yakni seberapa banyak publikasi ilmiah dari akademisi ITS yang disitasi (dirujuk, red).
Scopus dan Google Scholars juga menyortir beberapa publikasi ilmiah para peneliti di berbagai institusi di Indonesia. Jika diperingkatkan, ITS berada di urutan kelima dalam kategori perguruan tinggi. Jika lima perguruan tinggi dengan publikasi terbanyak di Indonesia disatukan (ITB, UGM, UI, IPB, ITS) dan dikomparasikan dengan satu universitas di Malaysia, kita masih kalah jauh.
Sebagai contoh adalah Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang mampu menerbitkan jurnal internasional sebanyak 5000 setiap tahunnya yang terindeks di Google Scholars. Sedangkan ITS sendiri belum mampu mencapai angka 1000 per tahun.
Dari jumlah tersebut, masih menjadi pertanyaan mengapa masih sedikit para peneliti ITS yang menerbitkan jurnal berdampak yang terindeks Scopus. Apakah karena keterbatasan dana dalam melakukan penelitian unggul, terlalu susah untuk menembus jurnal internasional berdampak, atau justru keleluasaan penelitian terhambat oleh minimnya fasilitas yang memadai?
"Kita masih perlu banyak pembenahan dan penyesuaian. ITS tidak bisa hanya mengejar ranking, tapi kualitas. Kita harus sadar kalau ITS punya kemampuan, namun semuanya harus berdasarkan standardisasi,” tegas Rektor ITS, Prof Ir Joni Hermana, MScEs PhD yang menyatakan kesiapan ITS menjadi perguruan tinggi kelas dunia pada 2017 nanti.
Berbagai paparan di atas menunjukkan seberapa siap ITS secara institusi dibombardir oleh tuntutan global. Dengan diberlakukannya MEA, sepatutnya seluruh sivitas akademika ITS bergerak cepat mengejar ketertinggalan. Memperbaiki diri sesuai kapasitas adalah kuncinya. Siap atau tidak, menjadi penonton atau hanya sekedar bertahan, tentu bukanlah jawaban.
Tim Redaksi ITS Online