Sejak resmi menjadi seorang mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) agustus lalu, saya menemukan satu kata sakti yang bila dilontarkan akan menimbulkan perdebatan panjang hingga tengah malam, sebut saja pengkaderan. Pengkaderan menjadi momok terbesar bagi mahasiswa baru di ITS, berbagai paradigma yang muncul tentang dunia pengkaderan di ITS menghasilkan bermacam-macam reaksi dari para mahasiswa baru, ada yang nyalinya langsung mengkerut saat mendengar kata tersebut, ada yang b (biasa) aja, ada yang mengeluh, ada yang langsung berorasi panjang lebar mengenai pengkaderan, ada yang sudahlah ya jalani saja dulu. Kata pengkaderan memang benar-benar sakti buktinya kita bisa melihat bahwa ada banyak jenis mahasiswa baru melalui pengucapan kata tersebut.
Pengakaderan sendiri berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal,kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan dirinya sendiri untuk memperbaiki keadaan sekarang dan mewujudkan masa depan yang lebih baik sesuai dengan cita-cita yang diidealkan, nilai-nilai yang di yakini serta misi perjuangan yang diemban. Bila diibaratkan, pengkaderan adalah bagaimana tuan rumah mengajari orang-orang baru yang akan tinggal di rumah tersebut agar memiliki kesamaan visi dan nilai-nilai yang diyakini supaya dikemudian hari tidak ada pertengkaran karena perbedaan tujuan dan cara pandang.
Lalu bagaimana dengan sistem pengkaderan di ITS? Yang selalu menjadi bahan pembicaraan dan tulisan para mahasiswa barunya setiap tahunnya?
Menurut pendapat saya, tidak ada yang salah dalam sistem pengkaderan di ITS. Buktinya sistem tersebut telah berhasil mencetak jutaan pemuda masa depan bangsa yang memiliki jiwa Sepuluh Nopember. Bisa dikutuk menjadi maba penuh dosa saya, andai menyalahkan suatu sistem yang berdasarkan data berhasil mencetak kader-kader terbaik untuk bangsa. Namun, apakah sistem ini masih relevan bila digunakan di masa yang bahkan sudah diciptakan ponsel yang tidak memiliki lubang untuk headset?
Okelah, saya paham bahwa sudah banyak hal dari sistem tersebut yang berubah. Mulai dari pengurangan secara dratis populasi mahasiswa berkepala kinclong di ITS, perubahan waktu pelaksanaan kegiatan pengkaderan, dan pemberlakuan jam maksimal untuk kegiatan.
Tidak heran bila ada senior saya yang berkata "Jalani aja lah dek, ini masih lebih gampang daripada jaman saya. Kalian sudah lebih dimudahkan". Memang sangat masuk akal.
Kembali lagi kepada persoalan relevansi. Tidak dapat dipungkiri kata "kaderisasi" dan "relevansi" sudah sangat sering dibahas oleh para mahasiswa baru bahkan sejak beberapa tahun lalu. Wajar saja apabila kami, para mahasiswa baru mempertanyakan sesuatu yang menurut kami sudah bukan jamannya lagi. Bagaimana tidak? Sistem ini dibuat puluhan tahun lalu, meskipun para konseptornya adalah para visioner pun tidak ada salahnya untuk melihat keefektifitasan sistem ini di masa yang saat ini. Menurut saya pasti ada sistem yang lebih efektif dan dapat diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman yang sedang terjadi saat ini. Memang, sistem ini telah mengalami banyak reduksi tetapi pola pikir mahasiswa baru juga berubah semakin cepat setiap tahunnya. Analoginya seperti ini, jika dahulu perubahan pola pikir mahasiswa masih bisa diikuti oleh sistem yang sedang berlaku maka di era saat ini dengan berbagai variabel-variabel baru yang muncul dan mempengaruhi pola pikir generasi milenia, perubahan yang dialami sistem ini hanya bernilai satu poin untuk setiap tahunnya sedangkan perubahan pola pikir para mahasiswa baru disetiap tahunnya bernilai sepuluh poin. Artinya ada jarak sembilan poin antara perubahan pola pikir mahasiswa baru dengan sistem yang sedang berlaku. Wajar saja bila muncul para pembeda disetiap jurusan yang menuntut akan adanya "warna baru" dalam pengkaderan. Memang, masalah ini hanya dirasakan oleh mereka yang menjadi pembeda di angkatannya. Ketidakefisiensi sistem atau persentase esensi yang kita dapat saat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh mahasiswa. Namun, apakah harus menunggu seluruh dari kami sadar atas hal ini? Orang bijak pasti tahu jawaban yang tepat.
Saya tahu merubah suatu budaya yang sudah menjadi tradisi secara turun temurun tidak akan bisa secepat kekuatan angin kinton milik Goku, apalagi dengan berbagai keberhasilan yang telah diraih oleh sistem ini di masa lampau. Namun apakah kita akan tetap diam saja ketika objek ini terus berkembang berkali-kali lipat setiap harinya mengikuti perkembangan zaman sedangkan yang dapat kita lakukan hanyalah melakukan satu reduksi setiap tahunnya?
Ah, kopi saya sudah habis tandanya tulisan ini harus segera diakhiri. Untuk menghindari dualisme prespektif yang mungkin terjadi. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan jawaban atas satu pertanyaan yang saya yakini akan terjadi "Memang kamu tahu apa soal sistem ini? Kamu saja belum pernah masuk kedalam sistem tersebut." Ya memang benar, saya belum pernah masuk ke sistem tersebut jadi saya tidak tahu bagaimana seluk beluknya. Disini saya hanya ingin berbagi informasi tentang kondisi generasi kami yang tidak akan pernah bisa dipahami kecuali oleh generasi kami sendiri.
Perubahan datang untuk diterima dan dicarikan solusi bukan diabaikan dan dihindari.
Alysia Meidina Savitri
Mahasiswa Angkatan 2016