Sejak resmi menjadi seorang mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Agustus lalu, saya menemukan satu kata sakti yang bila dilontarkan akan menimbulkan perdebatan panjang hingga tengah malam, sebut saja pengkaderan.
Pengkaderan menjadi momok terbesar bagi mahasiswa baru di ITS. Berbagai paradigma yang muncul tentang dunia pengkaderan di ITS menghasilkan bermacam-macam reaksi dari para mahasiswa baru. Ada yang nyalinya langsung mengkerut saat mendengar kata tersebut, ada yang b (biasa) aja, ada yang mengeluh, ada yang langsung berorasi panjang lebar mengenai pengkaderan, ada yang sudahlah ya jalani saja dulu. Kata pengkaderan memang benar-benar sakti, buktinya kita bisa melihat bahwa ada banyak jenis mahasiswa baru melalui pengucapan kata tersebut.
Bila diibaratkan, pengkaderan adalah bagaimana tuan rumah mengajari orang-orang baru yang akan tinggal di rumah tersebut agar memiliki kesamaan visi dan nilai-nilai yang diyakini supaya dikemudian hari tidak ada pertengkaran karena perbedaan tujuan dan cara pandang.
Kembali lagi kepada persoalan relevansi. Tidak dapat dipungkiri kata "kaderisasi" dan "relevansi" sudah sangat sering dibahas oleh para mahasiswa baru bahkan sejak beberapa tahun lalu. Wajar saja apabila kami, para mahasiswa baru mempertanyakan sesuatu yang menurut kami sudah bukan jamannya lagi.
Bagaimana tidak? Sistem ini dibuat puluhan tahun lalu, meskipun para konseptornya adalah para visioner pun tidak ada salahnya untuk melihat keefektifan sistem ini di masa yang saat ini. Menurut saya pasti ada sistem yang lebih efektif dan dapat diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman yang sedang terjadi saat ini. Memang, sistem ini telah mengalami banyak reduksi tetapi pola pikir mahasiswa baru juga berubah semakin cepat setiap tahunnya.
Analoginya seperti ini, jika dahulu perubahan pola pikir mahasiswa masih bisa diikuti oleh sistem yang sedang berlaku maka di era saat ini dengan berbagai variabel-variabel baru yang muncul dan mempengaruhi pola pikir generasi milenium, perubahan yang dialami sistem ini hanya bernilai satu poin untuk setiap tahunnya sedangkan perubahan pola pikir para mahasiswa baru disetiap tahunnya bernilai sepuluh poin. Artinya ada jarak sembilan poin antara perubahan pola pikir mahasiswa baru dengan sistem yang sedang berlaku.
Wajar saja bila muncul para pembeda disetiap jurusan yang menuntut akan adanya "warna baru" dalam proses pengkaderan yang mereka jalani. Memang, masalah ini hanya dirasakan oleh mereka yang menjadi pembeda di angkatannya. Ketidakefisienan sistem atau persentase esensi yang kita dapat saat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh mahasiswa. Namun, apakah harus menunggu seluruh dari kami sadar atas hal ini? Orang bijak pasti tahu jawaban yang tepat.
Saya tahu merubah suatu budaya yang sudah menjadi tradisi secara turun temurun tidak akan bisa secepat kekuatan angin kinton milik Goku, apalagi dengan berbagai keberhasilan yang telah diraih oleh sistem ini di masa lampau. Namun apakah kita akan tetap diam saja ketika objek ini terus berkembang berkali-kali lipat setiap harinya mengikuti perkembangan zaman sedangkan yang dapat kita lakukan hanyalah melakukan satu reduksi setiap tahunnya?
Ah, kopi saya sudah habis tandanya tulisan ini harus segera diakhiri. Untuk menghindari dualisme perspektif yang mungkin terjadi, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan jawaban atas satu pertanyaan yang saya yakini akan terjadi "Memang kamu tahu apa soal sistem ini? Kamu saja belum pernah masuk kedalam sistem tersebut." Ya memang benar, saya belum pernah masuk ke sistem tersebut jadi saya tidak tahu bagaimana seluk beluknya. Disini saya hanya ingin berbagi informasi tentang kondisi generasi kami yang tidak akan pernah bisa dipahami kecuali oleh generasi kami sendiri.
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)