Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang bertujuan menciptakan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan ini mencakup pembelajaran dasar mengenai perbedaan seks dan gender, feminitas dan maskulinitas, gender dan kultur, serta gender dan agama.
Dikatakan Rahmat, terdapat tiga konsep kesetaraan gender dalam perspektif kaum feminis. Pertama adalah kesamaan kondisi dan posisi dalam berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan dalam semua bidang kehidupan.
Konsep kesetaraan gender yang kedua ialah persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, ataupun warga negara. Sedangkan perspektif ketiga menjelaskan kesetaraan gender dalam bentuk kuantitas, yakni persamaan 50/50 baik di luar dan di dalam rumah.
Dijelaskan Rahmat, pendidikan multikultural merupakan strategi pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang terdapat dalam masyarakat. Keragaman dalam masyarakat meliputi pluralitas etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. "Tujuannya, meningkatkan kesadaran peserta didik agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis," jelasnya.
Meski demikian, pendidikan yang berasal dari Amerika Serikat tersebut, memunculkan berbagai problematika dalam masyarakat. Salah satunya adalah mencetak perempuan yang bebas.
Contoh yang paling jelas adalah pertukaran peran dan tugas pria dan wanita yang bisa dilakukan satu sama lain. Hal ini bertentangan dengan realitas sosial dan ajaran agama Islam yang mengatur peran laki-laki dan perempuan.
"Konsep islam tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya," ulas pria yang mengajar di Pesantren Riyadlul Ulum Wadda wah, Tasikmalaya ini.
Lebih lanjut, problematika kesetaraan gender dalam pendidikan multikultural juga menimbulkan upaya menghilangkan institusi keluarga. Dikatakan Rahmat, posisi perempuan yang menjadi ibu rumah tangga adalah perempuan yang terdiskriminasi. "Sejatinya hal itu merupakan pemahaman marxis yang menghilangkan atau memperkecil peran institusi keluarga," jelasnya.
Menurut Rahmat, solusi mengatasi hal tersebut ialah mengembalikan sistem pendidikan islam kepada wahyu. "Islam merupakan agama wahyu, bukan agama yang mengajarkan tunduk pada sejarah dan budaya," pungkasnya. (zik/ven)