Sandro, sapaan akrabnya, saat ini tengah menekuni sebuah warung kecil di ujung Keputih Gang Makam No 22. Warung tersebut diberi nama Kafe Sederhana. Sesuai dengan namanya, kafe ini hanya berukuran 3 x 4 meter, terdiri dari meja kayu, karpet biru dan dibumbui fasilitas wifi untuk membuat pembeli betah untuk makan, mengerjakan tugas, atau sekadar nongkrong.
Kafe ini merupakan sumber pundi-pundi rupiah yang digunakannya untuk bertahan hidup di Kampus Perjuangan. Sebelum memiliki warung ini, Sandro juga pernah menekuni pekerjaan lainnya mulai dari menjadi tukang ojek, tukang tambal ban keliling, hingga penjual kue dan sari kedelai keliling di kampusnya. Semua dilakukannya karena prinsip hidupnya anti merepotkan orangtua.
Sejak masuk ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tahun 2013 lalu, Sandro memang telah mandiri secara ekonomi dari keluarganya. Jika sebagian besar mahasiswa masih meminta kiriman dari orangtuanya, Sandro malah sudah mengirim uang ke orangtuanya setiap bulan untuk kebutuhan di kampung. "Orang tua saya sudah tua, sudah tidak kuat bekerja lagi, makanya saya ingin membantu" ujarnya kalem.
Sandro mengaku orang tua dan teman sekampungnya hingga saat ini bahkan tidak tau bahwa dia sedang kuliah di ITS. "Selama ini saya dikira mencari kerja ke Surabaya," ujarnya sambil tertawa. Wajar saja, karena ia memang lahir dan dibesarkan di Kampung Majan, sebuah desa di pelosok Kabupaten Tulungagung. "Jangankan ITS, dulu istilah kuliah saja saya tidak tahu," ungkapnya sambil terkekeh geli.
Pertama kali ia mengenal istilah kuliah adalah ketika ia bertemu salah seorang pegawai di ITS. Saat itu, Sandro membantu memperbaiki mobil pegawai ITS yang mogok di Tulungagung. Entah apa yang dilihat pegawai tersebut dalam dirinya, namun pria tersebut memperkenalkan ITS pada Sandro dan bersikeras mendorongnya untuk mendaftarkan diri ke ITS. "Bahkan saya dibekali uang 500 ribu rupiah untuk biaya pendaftaran dan ongkos dari Tulungagung ke ITS," kenangnya.
Dengan bekal uang 500 ribu dan segenggam tekad, akhirnya Sandro berangkat ke Kota Pahlawan. Ia masih ingat bagaimana Ia luntang-lantung mencari ITS dari Stasiun Pasar Turi hingga Sukolilo.
Tak ada keluarga yang mengantarnya, ia berangkat hanya bermodalkan tas ransel dan sepeda ontel. "Bahkan mau mendaftar jurusan apa saja saya tidak tahu," akunya sambil tergelak.
Karena sebatang kara dan tak mengenal siapapun di Surabaya, Ia lebih memilih menginap dan tinggal di Masjid Yapita Keputih untuk menghemat biaya. Di situlah Sandro menghabiskan harinya mendaftar dan tes hingga ia diterima di Jurusan Diploma Teknik Mesin.
Ia mengaku sangat berterimakasih kepada pegawai ITS yang telah membantu dan mengubah hidupnya. "Sayangnya saya tidak tahu siapa beliau. Hanya tahu dia dulu ajudan Pak Triyogi," ujarnya mengacu ke mantan rektor ITS, Prof Dr Ir Triyogi Yuwono, DEA.
Di tahun pertamanya, anak kelima dari tujuh bersaudara tersebut sudah bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia memulai usahanya dengan menjual kue semangka dan sari kedelai kepada masyarakat Gebang dan mahasiswa departemennya.
Kue semangka dan sari kedelai yang dijualnya seharga Rp 1500 tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan Sandro, dan bahkan untuk mengirim uang kepada orangtuanya tiap bulan. Namun dikarenakan jadwal kuliah yang semakin padat, Sandro akhirnya banting setir menjadi tukang ojek di ITS.
Sandro pun bergabung dalam ARITS, sebuah komunitas tukang ojek yang berasal dari kalangan mahasiswa ITS. Ia melaksanakan profesinya menggunakan motor hasil tabungan ketika menjadi sales di bangku SMK. Karena penghasilannya berkurang, ia memeras otak hinga tercetuslah ide untuk menjadi tukang tambal ban keliling.
Saat itu ia mempelkan poster di setiap departemen dan pusat kampus untuk memberitahukan usaha tambal ban kelilingnya. Usaha tambal ban tersebut menerima orderan selama 24 jam tiap harinya. "Alhamdulillah, hasil ojek dan tambal ban cukup untuk saya bayar kos, makan dan mengirim uang ke kampung," tutur Sandro dengan muka sumringah.
Ia mengenang ketika ia ditawari Beasiswa Bidik Misi oleh ITS. Responnya saat itu langsung menolak. Sandro merasa tidak pantas menerima bantuan tersebut, karena ia berpikir bahwa penerima Beasiswa Bidik Misi haruslah orang yang berprestasi dan pintar. Sedangkan ia sendiri merasa prestasi akademiknya biasa-biasa saja.
Sampai hari ini, ia ingat betul bahwa Kusni, Pegawai akademik ITS saat itu, membujuknya untuk menerima beasiswa tersebut. "Kata Pak Kusni, orang yang menerima Beasiswa Bidik Misi bukan cuman orang yang pintar, tetapi orang yang mengerti keadaan," cerita Sandro dengan bibir bergetar. Seketika itu juga ia menangis di hadapan Kusni karena terharu.
Meski biaya hidupnya akhirnya sudah tercukupi oleh profesi ojek dan bantuan beasiswa, Sandro tetap fokus mencari uang untuk dapat membeli laptop dan kebutuhan kuliahnya."Saya tidak enak jika harus meminjam laptop ke teman terus," jawabnya sambil sesekali senyum pada pembeli yang datang ke warungnya.
Bermodal nekad, Sandro mengikuti acara StandUp Comedy yang diadakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk wilayah Jawa Timur. Alhasil ia berhasil menyabet juara dua. "Lumayan sekali duitnya bisa buat beli laptop dan ditabung. Karena ikut StandUp Comedy saya juga jadi pernah merasakan menginap dan makan di hotel," ujarnya sambil tertawa.
Lewat acara tersebut, Sandro bertemu Abdur, artis StandUp Comedy yang kini telah tenar namanya. "Karena saya hanya dapat juara dua, Bang Abdur lantas membantu saya beli laptop dan memberikan sedikit uangnya membantu usaha saya," kenang Sandro dengan raut muka senang.
Bermodal dengan tabungan sejak mahasiswa baru itulah, akhirnya Sandro dapat membuka Kafe Sederhana yang tengah ia geluti saat ini. Lewat warungnya, sekarang Sandro berhasil mempekerjakan seorang teman dari Tulungagung yang putus sekolah.
Ia juga dapat meraup omset Rp 700 ribu saat ramai dan Rp 400 ribu di hari biasa. Tak banyak memang, namun jumlah itu sudah cukup untuk modal. Tak lupa, ia juga selalu menyisihkan pendapatannya untuk disumbangkan ke anak yatim.
Ia berencana akan mengembangkan warungnya lebih besar lagi begitu modalnya cukup. Ia ingin mengisi warungnya dengan berbagai buku dan koran, agar banyak mahasiswa yang tertarik untuk belajar di warungnya."Saya sangat suka melihat mahasiswa belajar, karena saya ingin terus belajar dari siapa saja," ujar pria berkulit gelap tersebut.
Sandro mengaku dirinya sering iri kepada teman-temannya yang banyak mengikuti lomba dan berprestasi di berbagai bidang. Ia sering merasa sedih karena ia tidak bisa mengikuti banyak kegiatan kampus seperti kawannya, karena waktunya tersita untuk mencari uang. Namun siapa sangka, Sandro juga pernah menyabet Juara dua dalam lomba Waterbag yang diadakan Departemen Sistem Perkapalan ITS.
Meski begitu, baginya yang paling penting dalam hidup adalah membahagiakan orangtua. Jika sudah punya banyak uang nanti, ia ingin membawa orangtuanya ke Surabaya untuk jalan-jalan. Ia mengaku ingin sekali membawa ibu dan bapaknya ke mall Grand City, supaya pernah merasakan kehidupan perkotaan. Ia juga ingin membawa orangtuanya ke ITS, untuk memberitahu mereka ini tempat yang membuatnya sukses.
Untuk itulah ia bertekad menjadi orang yang sukses. Usai wisuda 115, Sandro berencana untuk melanjutkan tawaran kerja yang sudah ia terima terlebih dahulu. Ia juga bercita-cita mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah ke luar negeri mengambil jurusan gambar desain mesin. (jel/gol)
Kampus ITS, ITS News — Memberikan dedikasi terbaiknya dalam pengembangan riset dan pemberdayaan ilmu pengetahuan, kembali membawa dosen Departemen Kimia,
Kampus ITS, ITS News — Mengimplementasikan salah satu program yang disampaikan pada Pidato Rektor Awal Tahun 2025, Institut Teknologi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali meneruskan estafet kepemimpinan dalam lingkup fakultasnya. Dr Ing
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali melahirkan doktor berprestasi, yakni Dr Muhammad Ruswandi Djalal SST