ITS News

Senin, 23 Desember 2024
24 Maret 2017, 20:03

Haruskah Tepat Waktu ketika Semua Orang Terlambat?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Bicara soal terlambat, pasti pihak terdekat dari telat adalah tepat
waktu. dua urusan ini agaknya jauh bertentangan. Tinggal pilih, mau
telat atau tepat waktu? anehnya, dewasa ini Indonesia cenderung memilih
terlambat daripada tepat waktu. tak jauh-jauh, di ITS saja banyak kata
maklum terhadap keterlambatan. Bahkan tercipta istilah unik untuk zona
waktu di ITS, WITS (Waktu ITS) dengan ciri khas "jam karet"-nya.

Tak
hanya sekali dua kali terlambat dilakukan, namun sudah tiga kali dan
berkali-kali hingga menjadi kebiasaan. Sampai-sampai kata ‘telat’
kiranya sedikit ganjil jika tak dipasangkan dengan kata ‘budaya’,
menjadi budaya telat. Hebat bukan? Sampai membudaya saking mendarah
dagingnya.

Terlambat bisa terjadi kala mendatangi acara, kelas
kuliah, rapat, sekolah, dan masih banyak lagi. Makin gawat ketika
terlambat pada acara yang sebelumnya telah dijadwalkan. Harusnya waktu
bisa diluangkan, kalau bisa lebih cepat datang. Tapi nyatanya? Apa
karena "datang nanti saja, pasti banyak yang telat" membuat seseorang
makin tenang?

Satu contoh dampak dari telat adalah telat ketika
rapat. Banyak dari mahasiswa ITS yang datang malam pulang pagi demi
rapat situ, rapat sini. Terdapat dua kategori rapat. Pertama rapat
fungsi hasil dan kedua rapat fungsi waktu.

Rapat fungsi hasil
akan mengutamakan hasil daripada durasi rapat. Rapat bisa dimulai
kapanpun walaupun telat dan diakhiri kapanpun setelah mencapai mufakat.
Terlambat pada rapat fungsi hasil mungkin akan berdampak pada durasi
rapat yang akan memiliki elastisitas sangat tinggi (molor, red).

Kalau
rapat fungsi waktu, rapat akan lebih mengutamakan durasi. Waktu mulai
dan selesai rapat telah diatur sedemikian rupa. Terlambat pada rapat
fungsi waktu akan berdampak pada penundaan rapat di lain hari. Pasti hal
mendasar seperti contoh ini sudah diketahui. Kerugian pun telah
disadari. Tapi sekali lagi, terlambat masih berulang kali terjadi.

Toh karena sudah banyak yang lebih memilih terlambat, apa gunanya menjadi tepat waktu seorang diri?

Ketika telat, tidak ada yang merasa dirugikan

Baik
seseorang yang datang tepat waktu maupun seseorang yang terlambat
datang, selama ini tidak ada yang merasa dirugikan. Bagi orang yang
datang tepat waktu, ketika keterlambatan seseorang tidak terlalu
berdampak pada jalannya acara, maka terlambat atau tepat waktu tidak
terlalu bermasalah. Begitupula bagi seseorang yang terlambat. Selama
keterlambatannya tidak menjadikannya penuh sesal karena terlambat
memperoleh informasi dan lain sebagainya, maka terlambat saja tak apa.
Selama tidak ada yang merasa rugi, tepat waktu bukan menjadi hal yang
berarti.

Tidak ada protes atas sebuah keterlambatan

Satu
dari jutaan kasus terlambat, adakah protes yang berani dilayangkan untuk
seseorang yang terlambat? Sehubungan dengan kasus pertama, ketika tidak
ada yang merasa dirugikan, tentu tidak akan ada protes maupun teguran
yang terdengar. Apa karena budaya sungkannya, Indonesia jadi tak perlu
ber-protes-ria hanya demi sebuah keterlambatan?

Tidak ada rasa malu, menghargai, dan tidak enak pada orang lain

Keterlambatan
dengan permintaan maaf saja tak jarang membuat orang lain kesal.
Bagaimana dengan yang datang terlambat dan tanpa ba bi bu langsung
menduduki tempat? Orang-orang yang memilih tepat waktu tentu memiliki
kesibukan pula, namun waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menunggu
oknum-oknum yang hobi terlambat. Banyak diantara orang-orang yang
terlambat tidak merasa malu atas keterlambatannya. Bisa dikatakan tidak
pula menghargai orang yang secara sukarela meluangkan waktunya untuk
tepat waktu. Menengok negara-negara yang terenal dengan disiplinnya,
mindset semacam “saya tidak ingin diperlakukan seperti itu, maka saya
tidak akan melakukannya”rasanya begitu melekat. Ibaratnya, ketika
seseorang tidak mau menunggu orang yang terlambat, maka orang tersebut
tidak akan terlambat.

Merasa penting dan patut untuk ditunggu

Ketika
semua orang datang tepat waktu dan satu orang datang terlambat, penting
atau tidak posisinya dalam acara, secara tak langsung ada rasa bangga
karena semua telah menunggunya. Tidak masuk akal tapi begitulah manusia.
Sepenting itukah posisinya sehingga pantas ditunggu? Menelisik prosesi
tunggu-menunggu di Indonesia sendiri, bukan hal aneh jika tercetus
kalimat "makin tinggi posisi, makin banyak toleransi".

Saking
membudayanya, pembenaran hal-hal yang umum tak jarang ditemukan.
Utamanya perihal keterlambatan. Membenarkan kebiasaan terlambat adalah
hal yang wajar. Namun tetap saja, setiap perbuatan buruk akan menemui
dampaknya, apalagi jika sudah dalam kategori budaya.

Terlambat
bisa disebabkan karena dua hal. Karena individu dan sistem. Beberapa
individu atau komponen yang terlibat, akan membentuk sistem. Individu
akan memilih terlambat karena kurang maksimalnya sistem yang menaungi
individu. Masing-masing individu memang harus sadar, namun apakah sadar
saja cukup jika sistem yang dibuat longgar?

Ada dua cara yang
dapat digunakan dalam mengoptimalkan sistem. Yang pertama adalah sistem
insentif dan disinsentif. Dalam sistem insentif , orang yang tepat waktu
akan diberi penghargaan agar termotivasi untuk selalu tepat waktu.
sedangkan sistem disinsentif akan mengenakan hukuman bagi para oknum
yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini adalah pelaku terlambat.

Sebagai
contoh, ITS Online sendiri menerapkan sistem disinsentif dengan
memberikan hukuman bagi kru yang datang terlambat saat rapat redaksi
dengan memotng HR liputannya. Secara langsung maupun tak langsung, para
kru akan berusaha untuk datang tepat waktu.

Sudah tahu bagaimana
dampaknya, sudah pula cara mengatasinya,  Jadi, maukah kita bersama
meluruskan budaya terlambat menjadi Indonesia berbudaya tepat waktu?
atau dengan sikap gotong royong kita lebih memilih terlambat bersama dan
tak acuh terhadap disiplin waktu?

Tim Redaksi ITS Online

Berita Terkait