ITS News

Senin, 23 Desember 2024
09 April 2017, 05:04

Dilema Tepat Waktu Dalam Masyarakat Berbudaya Terlambat

Oleh : Dadang ITS | | Source : -
Bicara soal terlambat, pasti kerabat terdekatnya adalah waktu. Harafiahnya, istilah ini sebenarnya tabu. Meski demikian, faktanya berbanding terbalik dengan teori. Masyarakat sangat suka berperilaku terlambat.

Tak usah jauh-jauh, di ITS saja banyak pemakluman terhadap keterlambatan. Uniknya, pemakluman itu menjadi ibu istilah WITS. zona waktu ITS, yang terkenal dengan ciri khas jam karet-nya.

Fenomena terlambat di ITS terjadi berulang-ulang. Sampai-sampai kata istilah itu sebenarnya pantas disandingkan dengan budaya, menjadi budaya telat. Hebat bukan? 

Saking mendarah dagingnya, budaya ini mudah ditemukan di setiap aktivitas. Ketika mendatangi acara, kelas kuliah, rapat, janji temu, asistensi, maupun kegiatan lainnya, akan mudah sekali mendapati para pecinta budaya ini

Contoh paling sering terlihat di kalangan para aktivis. Kegiatan rapat mereka  menjadi wadah berkembangnya budaya ini. Rapat di lingkungan ITS dibagi menjadi dua kategori. Pertama rapat fungsi hasil, sedangkan kedua rapat fungsi waktu.

Rapat fungsi hasil akan mengutamakan luaran daripada durasi. Rapat bisa dimulai dan diakhiri kapan pun tanpa memandang jarum jam. Yang penting mufakat. Terlambat pada rapat fungsi hasil mungkin akan berdampak pada durasi rapat yang akan memiliki tingkat molor yang sangat tinggi. 
Kalau rapat fungsi waktu, rapat akan lebih mengutamakan durasi. Waktu mulai dan selesai rapat telah diatur sedemikian rupa. Terlambat pada rapat fungsi waktu akan berdampak pada penundaan rapat di lain hari. Pasti hal mendasar seperti contoh ini sudah diketahui. Kerugian pun telah disadari. Tapi sekali lagi, terlambat masih berulang kali terjadi.
Toh karena sudah banyak yang lebih memilih terlambat, apa gunanya menjadi tepat waktu seorang diri?


Minim Protes, Telat Pun Membudaya

Baik seseorang yang datang tepat waktu maupun seseorang yang terlambat datang, selama ini tidak ada yang merasa dirugikan. Bagi orang yang datang tepat waktu, ketika keterlambatan seseorang tidak terlalu berdampak pada jalannya acara, maka terlambat atau tepat waktu tidak terlalu bermasalah.

Begitupula bagi seseorang yang terlambat. Selama keterlambatannya tidak menjadikannya penuh sesal karena terlambat memperoleh informasi dan lain sebagainya, maka terlambat saja tak apa. Selama tidak ada yang merasa rugi, tepat waktu bukanlah hal yang berarti.

Satu dari jutaan kasus terlambat, adakah protes yang berani dilayangkan untuk seseorang yang terlambat? Sehubungan dengan kasus pertama, ketika tidak ada yang merasa dirugikan, tentu tidak akan ada protes maupun teguran yang terdengar. Apa karena budaya sungkannya, Indonesia jadi tak perlu ber-protes-ria hanya demi sebuah keterlambatan?
Keterlambatan dengan permintaan maaf saja tak jarang membuat orang lain kesal. Bagaimana dengan yang datang terlambat dan tanpa ba-bi-bu langsung menduduki tempat? Orang-orang yang memilih tepat waktu tentu memiliki kesibukan pula, namun waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menunggu oknum-oknum yang hobi terlambat.

Banyak diantara orang-orang yang terlambat tidak merasa malu atas keterlambatannya. Bisa dikatakan tidak pula menghargai orang yang secara sukarela meluangkan waktunya untuk tepat waktu.

Menengok negara-negara yang terkenal dengan disiplinnya, mindset  ‘saya tidak ingin diperlakukan seperti itu, maka saya tidak akan melakukannya’ rasanya begitu melekat. Ibaratnya, ketika seseorang tidak mau menunggu orang yang terlambat, maka orang tersebut tidak akan terlambat.

Ketika semua orang datang tepat waktu dan satu orang datang terlambat, penting atau tidak posisinya dalam acara, secara tak langsung melahirkan rasa bangga karena semua telah menunggunya. Sepenting itukah posisinya sehingga pantas ditunggu?

Tidak masuk akal, tapi begitulah manusia. Menelisik prosesi tunggu-menunggu di Indonesia sendiri, bukan hal aneh jika tercetus istilah makin tinggi posisi, makin banyak toleransi.

Saking membudayanya, pembenaran hal-hal yang umum tak jarang ditemukan. Utamanya perihal keterlambatan. Membenarkan kebiasaan terlambat adalah hal yang wajar. Namun tetap saja, setiap perbuatan buruk akan menemui dampaknya, apalagi jika sudah dalam kategori budaya.

Peran Individu Dan Sistem

Terlambat bisa disebabkan karena dua hal. Karena individu dan sistem. Beberapa individu atau komponen yang terlibat, akan membentuk sistem. Individu akan memilih terlambat karena kurang maksimalnya sistem. Masing-masing individu memang harus sadar, namun apakah sadar saja cukup jika sistem yang dibuat longgar?
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam mengoptimalkan sistem. Yang pertama adalah sistem insentif dan disinsentif. Dalam sistem insentif, orang yang tepat waktu akan diberi penghargaan agar termotivasi untuk selalu tepat waktu. Sedangkan sistem disinsentif akan mengenakan hukuman bagi para oknum yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini adalah pelaku terlambat.
Misalnya saja, ITS Online sendiri menerapkan sistem disinsentif dengan memotong HR kru yang datang terlambat saat rapat redaksi. Secara langsung maupun tak langsung, para kru akan berusaha untuk datang tepat waktu. 
Sudah tahu bagaimana dampaknya, sudah pula cara mengatasinya,  Jadi, maukah kita bersama meluruskan budaya terlambat menjadi Indonesia berbudaya tepat waktu? atau dengan sikap gotong royong kita lebih memilih terlambat bersama dan tak acuh terhadap disiplin waktu?

Tim Redaksi ITS Online

Berita Terkait