”Dalam menjalani kehidupan di Indonesia, ada dua pegangan yang menjadi acuan bagi kehidupan yakni berkebangsaan (ragawi, horizontal, habluminannas) dan berkeagamaan (ruhani, vertikal, habluminallah),” kata Joni dalam pesan yang diterima Antara di Surabaya, Rabu.
Dia menjelaskan, untuk kehidupan berkebangsaan, maka ada dua pegangan yang digunakan, yaitu landasan konstitusional (UUD 1945) dan landasan ideologi (Pancasila). Sedangkan untuk kehidupan berkeagamaan, khususnya umat Islam, juga terdapat dua pegangan yaitu Al Quran dan Al Hadist.
”Artinya, kita wajib mengikuti kedua pegangan itu secara horizontal dan vertikal sekaligus, sebab jika melanggar salah satunya, kita akan mendapat konsekuensi hukum. Untuk urusan kebangsaan maka negara akan memberi sanksi, sementara untuk urusan keberagamaan, maka Allah SWT yang akan menjadi Penghukumnya,” ujar Joni.
Dia mengatakan, ketika terlahir dan berkehidupan di negara Indonesia, maka semua hal yang berkaitan dengan ketentuan hukum di Indonesia berlaku. Termasuk prinsip dalam menerapkan ideologi kebangsaan, yaitu Pancasila, dan konstitusi negara kita yaitu UUD 1945. Artinya secara nasional, ini menjadi kesepakatan bersama yang harus ditaati.
”Kebebasan kita dalam menjalankan keberagaam kita juga dijamin dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dalam Pancasila, hal ini dinyatakan sebagai Sila yang Pertama, yang memberi kebebasan bagi kita untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut kita masing-masing,” tutur alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Karena itu, menurut Joni apapun yang bertentangan dengan prinsip yang berlaku di negara ini, tentunya tidak dapat dipaksakan untuk diberlakukan apalagi melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan tata aturan yang berlaku.
”Contohnya, apabila seseorang berkeyakinan bahwa prinsip khilafah lebih baik daripada prinsip demokrasi yang saat ini berlaku di negara kita, maka hal ini bisa mempunyai dampak hukum apabila disampaikan dengan cara yang salah,” ucapnya.
Dikatakan Joni, apabila keyakinan itu kemudian disampaikan secara terbuka dengan mengajak orang lain untuk meninggalkan demokrasi dan menggantinya dengan khilafah, itu bisa dikategorikan melawan negaranya sendiri, bahkan bisa dianggap makar dan berbahaya.
”Dalam hal ini saya tidak berbicara, apakah khilafah itu benar atau salah, baik atau buruk. Bukan. Sebab hal itu urusan lain yang berkaitan dengan keyakinan bathin seseorang dari keyakinan yang dianutnya. Jadi saya tidak membahas soal prinsip-prinsip dalam agama Islam,” kata Joni.
ITS, kata Joni, sebagai lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah, bangsa dan negara Indonesia, tentunya harus patuh dan menjalankan apa yang menjadi landasan yang telah disepakati secara nasional untuk berkehidupan kebangsaan.
”Karenanya kami tidak akan membiarkan kegiatan apapun yang dengan alasan apapun bertentangan dengan landasan yang berlaku tersebut,” ucapnya.
Selain itu, dirinya tidak membenarkan mahasiswa dengan atribut ITS meneriakkan dan mengajak mahasiswa lain melawan negaranya sendiri. Menurut Joni, hal itu berarti pengingkaran terhadap janji dan kesepakatan sebagai warga negara. Karena itu, harus ditindak dan dicegah.
”Sikap saya ini, bukan berarti saya menyalahkan ajaran agama, tidak sama sekali. Sebab yang saya cegah dan tindak adalah kegiatan melawan hukum yang dilakukan di wilayah yuridiksi Indonesia. Itu saja,” ujar dia.
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/633842/rektor-its-larang-propaganda-khilafah-masuk-kampusnya
Kampus ITS, ITS News — Himpunan Mahasiswa Diploma Sipil (HMDS) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menggelar Diploma Civil
Kampus ITS, ITS News — Insititut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi di bidang konstruksi bangunan. Kali ini,
Kampus ITS, ITS News — Masih dalam rangkaian kegiatan Czech – Indo Friendship Exhibition 2024, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS, ITS News — Isu sosial dan lingkungan kini semakin marak disuarakan dari berbagai kalangan, khususnya masyarakat sebagai