ITS News

Kamis, 14 November 2024
24 November 2017, 09:11

Pakar Ini Tak Setuju Styrofoam Sebab Pencemaran

Oleh : gol | | Source : -

Departemen Teknik Kimia, ITS News – Polistirena (polystrene, red) atau yang lebih luas dikenal sebagai styrofoam akhir-akhir ini semakin banyak digunakan. Namun di tengah maraknya penggunaan styrofoam muncul isu lingkungan dan kesehatan terkait penggunaan salah satu jenis polimer ini. Benarkah styrofoam ini memiliki begitu banyak dampak negatif?

Dalam kuliah tamu tentang polystrene yang diadakan di Departemen Teknik Kimia, Rabu (21/11), Ir Akhmad Zainal Abidin MsC PhD mengatakan terdapat mispersepsi tentang bahaya styrofoam. “Kesalahan persepsi ini termasuk dalam menilai styrofoam dapat menyebabkan banjir dan dapat menyebabkan penyakit,” ujar dosen yang kerap disapa Akhmad tersebut.

Menurutnya struktur styrofoam yang ringan tidak mungkin menyebabkan banjir karena pasti selalu mengapung di atas air, sementara penyebab utama banjir adalah penyumbatan. Sementara dari segi kesehatan, styrofoam akan berbahaya jika memiliki kandungan styren yang ekstrim. Namun hal ini tidak ditemukan pada styrofoam yang biasa digunakan oleh masyarakat.

Ia mengutip, berdasarkan penelitian Global Harmonized System, batas maksimum kandungan styren yang aman adalah 5000 part per million (ppm). Sementara dari penelitian Badan Pengawasan Obat dan Makanan, styrofoam yang digunakan untuk membungkus makanan yang beredar di tengah masyarakat hanya mengandung styren sebesar 49 ppm. “Bahkan pada buah bery juga terdapat styren sebesar 43 ppm, jadi penggunaan styrofoam selama ini benar-benar belum berbahaya,” terang doktor lulusan University of Manchester Institute of Science and Technology tersebut.

Lebih lanjut, secara dampak lingkungan styrofoam  memang terbukti memiliki potensi merusak lingkungan karena sifatnya yang sulit untuk diurai. Namun hal ini bisa ditanggulangi apabila masyarakat memiliki cukup kesadaran dalam memisahkan sampah styrofoam dengan jenis sampah lain. “Kita sudah bukan hidup di masa menggunakan daun pisang, yang apabila dibuang sembarang tidak akan menimbulkan masalah apapun,” celetuknya.

Meskipun sulit terurai, namun nyatanya styrofoam dapat diolah menjadi berbagai produk yang bisa berguna. Sebut saja beton ringan yang bisa dihasilkan dengan mencampurkan polystrene. Selain itu di luar negeri juga beberapa bangunan dipasang styrofoam pada dindingnya guna menjaga suhu ruangan tetap hangat pada musim dingin. Akhmad sendiri telah melakukan banyak penelitian yang sangat berguna bagi masyarakat menggunakan polystrene.

Definisi ramah lingkungan sendiri, lanjut Akhmad, sudah tidak bisa dinilai hanya dari sisi dapat terurai (biodegradbale) atau tidak. Parameter ramah lingkungan perlu ditinjau dari aspek yang lebih luas. Penilaian tersebut bisa berupa sumbernya, cara pembuatannya, penggunaannya, serta dampak yang dihasilkan setelah benda tersebut digunakan. “Apabila suatu benda bisa didaur ulang, namun dalam proses pembuatannya membutuhkan banyak energi dan menghasilkan banyak carbon, apa itu ramah lingkungan?,” terangnya menganalogikan.

Senada dengan Akhmad, Wakil Ketua Indonesian Olefin Aromatic and Plastics Industry Association (INAPLAS), Budi Susanto Sadiman juga mengatakan ketidasetujuannya jika plastik, termasuk juga polistirena, dianggap sebagai bahan yang tidak ramah lingkungan. “Plastik itu sekarang dianggap beracun dan merusak lingkungan. Namun pasalnya plastik sebenarnya dari bahan organik.” ujar Budi.

Sebagai orang yang tak percaya pemanasan global, Budi berpendapa bahwa plastik merupakan inovasi terbaik di dunia. “Mulai dari peralatan medis dengan bahan polistirena serta juga konstruksi bangunan yaitu beton ringan yang lebih ekonomis.” tutupnya. (mik/AP07/van)

Berita Terkait