ITS News

Sabtu, 27 Juli 2024
31 Desember 2017, 13:12

Berlindung Dari Wabah Hoax

Oleh : gol | | Source : -

ilustrasi oleh : riris septi arimbi

 

“Eh… ada kecelakaan di daerah Sukolilo, korbannya dua orang meninggal di tempat,” kata Putri panik kepada temannya.

“Oh iya? Kamu tahu dari mana?,” tanya temannya.

“Barusan temenku ngirim fotonya di grup,” balas Putri.

“Ya ampun, aku minta fotonya dong mau aku kirim ke temen-temenku,” timpal temannya seraya bergegas menyebarkan foto kecelakaan yang ia peroleh.

Hari ini, model percakapan tersebut adalah hal yang lumrah terjadi. Kecepatan akses yang diberikan oleh internet dan maraknya perkembangan media dalam jaringan (daring), menggeser peran koran, radio, maupun televisi sebagai sumber infomasi terdepan. Bahkan, beberapa media konvesional pun turut menyadur informasi dari internet untuk diulas ulang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Reuters Institute dengan melibatkan 26 negara dan 50.000 responden, dalam Digital News Report 2016. Laporan ini mengemukakan bahwa 51 persen responden memilih media sosial sebagai tempat memperoleh berita, Bahkan 12 persen diantaranya menjadikan media sosial sebagai pilihan utama mereka dalam mendapatkan informasi.

Berkembangnya media sosial dan media daring sebagai penyedia informasi baru memberikan pertanyaan lain soal keabsahan berita yang disajikan. Maklum, di era serba internet ini informasi dapat diakses dari mana saja dan dibuat oleh siapa saja. Akibatnya, muncul istilah baru seperti media “abal-abal” yang menyediakan informasi tak sesuai fakta atau hoax dan media mainstream yang merujuk pada media-media besar yang tidak perlu dipertanyakan kredibilitasnya.

Berita palsu atau biasa dikenal dengan hoax semakin marak di telinga masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis Statista diperkirakan setidaknya 30 persen pengguna facebook dan twitter melihat berita hoax lebih dari satu kali setiap harinya. Media sosial dan media “abal-abal” pun menjadi lahan paling subur untuk pertumbuhan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya ini.

Sebut saja kebohongan akademik yang sempat menggemparkan dunia intelektual Indonesia atau pesan berantai soal ajakan pembubaran seminar di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) soal “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966”. Bahkan, dalam kasus ini masyarakat sempat melakukan aksi dengan mendatangi kantor LBH sebagai respon dari pesan berantai tersebut. Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Raden Argo Yuwono, seperti yang dilansir Tirto.id peristiwa penyerbuan kantor LBH Jakarta yang menelan dua orang korban pada 17 September lalu ini dipicu oleh penyebaran hoax.

Mulai dari sekedar guyonan belaka hingga bisnis bernilai ratusan juta, hoax telah menjadi bagian tak terpisahkan dari cepatnya laju berita di era digital. Selain itu, hoax dapat menjadi penyebab dari sebuah permusuhan, pertikaian. perpecahan, pegambilan keputusan tanpa dalil kebenaran, dan tentunya pembodohan.

Tapi sadarkah kalian telah menghabiskan waktu tiga puluh detik membaca tiga paragraf berita hoax di atas. Tertipu? Tenang saja ada banyak ribuan pembaca yang tertipu seperti Anda. Selamat! Lalu, bagaimana dengan perasaan mereka yang juga tersedot berita hoax diluar sana. Sudah berapa banyak waktu yang mereka habiskan hanya membaca berita hoax yang malangnya ada beberapa diantara mereka ikut mengamini.

Bagaimana Hoax Memikat Hati Pembaca

Fakta bahwa masih banyaknya masyarakat yang tertipu berita hoax bahkan turut andil dalam penyebarannya melahirkan sebuah pertanyaan. Bagaimana bisa hoax diterima “dengan baik” oleh masyarakat. Laras Sekarasih PhD, Dosen Psikologi Media Universitas Indonesia, dikutip dari Kompas berpendapat bahwa secara psikologis manusia lebih cenderung percaya pada sebuah informasi yang sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Ketika ada informasi yang dapat menegaskan opini, dengan mudahnya orang akan percaya dan  keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran semakin berkurang.

Misalnya, kasus “Hoax Sokal” yang menggemparkan dunia cendikiawan pada tahun 1996. Social Text, jurnal ternama di Amerika Serikat, mempublikasikan paper berjudul Transgressing the Boundaries : Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity hasil pemikiran dari Alan Sokal, Profesor Fisika di New York Univerity dan Profersor Matematika di University College London. Beberapa minggu kemudian Alan Sokal menerbitkan esai di Lingua Franca yang isinya adalah mengonfirmasi bahwa apa yang ia tulis di Social Text adalah kebohongan belaka, dimana dalam esai tersebut ia menyebutkan bahwa tujuannya membuat paper tersebut adalah apakah sesuatu yang mustahil akan tetap dapat diterima hanya karena terkesan bagus dan sejalan dengan pra-konsepsi ideologi para editor jurnal.

Selain itu, penggunaan kalimat “sekedar share dari grup sebelah” sebagai pembuka dari kebanyakan pesan hoax menjadikan penerimanya tidak memiliki beban ketika membagikan ke grup yang lainnya, sebab apabila terjadi kesalahan informasi ia tidak perlu bertanggung jawab karena yang ia lakukan hanyalah “sekedar share dari grup sebelah”.

Penyebab lain adalah sikap ingin terlihat paling up to date,  beberapa orang merasa akan lebih dihargai dan hebat ketika dirinya menjadi yang pertama dalam penyebaran berita yang berakibat pada mengesampingkan kebenaran dari konten yang disajikan, “benar atau tidak urusan nanti yang terpenting saya sudah menjadi yang pertama dalam penyebaran”.

Alasan terakhir adalah rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Berdasarkan riset oleh World’s Most Literate Nation pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat ke 61 dari 62 negara yang diteliti terkait literasi. Akibatnya, kebanyakan masyarakat Indonesia menelan mentah-mentah informasi yang diterima tanpa ingin melakukan pengecekan ulang atau menyelaraskan dengan buku atau informasi yang telah ia baca sebelumnya.

Hoax Bisa Menyerang Siapa Saja

Lebih lanjut, alasan mengapa virus hoax dapat menyebar dengan cepat adalah fakta bahwa tidak ada satupun orang yang kebal hoax, siapapun dapat menjadi korban sesatnya informasi hoax. Laras Sekarasih PhD, Dosen Psikologi Media Universitas Indonesia, dalam Kompas berpendapat ketika berbicara soal media sosial maupun media digital kita harus membedakan antara kemampuan mengevaluasi informasi dan mengoperasikan gawai. Sebab, seorang yang pandai mengoperasikan gawai atau pekerjaan belum tentu lihai dalam mengevaluasi informasi.

Selain faktor psikologis dan sifat dasar manusia, rentan atau tidaknya seorang terhadap hoax bergantung pada  kemampuannya dalam berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran dalam memanfaatkan teknologi informasi.

Media Sebagai Penyedia Informasi

Jika diamati, rata-rata penyebaran informasi hoax adalah memanfaatkan teknologi informasi. Internet sebagai sarana pertukaran informasi tercepat dan termudah dewasa ini, mengakomodasi oknum-oknum tertentu untuk melancarkan kepentingan mereka, media “abal-abal” dan akun “abal-abal” di media sosialpun dipilih sebagai alat terbaik untuk meyebarkan tipu daya.

Setidaknya pada 2016, Dewan Pers mencatat jumlah situs yang mengklaim diri sebagai portal berita di Indonesia mencapai kisaran 43.000. Dari jumlah tersebut, portal berita yang terverfikasi sebagai situs berita resmi hanya berada dikisaran 200. Artinya, ada puluhan ribu situs yang belum jelas statusnya dan berpotensi menyebarkan hoax.

Selain itu, pergeseran pandangan masyarakat dalam melihat informasi turut melicinkan penyebar kebohongan. Sebuah buku berjudul The Fifth Estate menjelaskan saat ini dunia telah mencapai tahap kelima untuk perkembangan informasi, informasi datang dari masyarakat dan untuk masyarakat.  Dewasa ini, jurnalis tak lagi dianggap sebagai satu-satunya pewarta, masyarakat telah terbiasa untuk menelan informasi dari pesan berantai di grup obrolan whatsapp ataupun status facebook teman. Sebab, pada fase kelima ini masyarakat lebih percaya pada suara individu dibandingkan korporasi.

Lebih lanjut, media mainstream yang notabene mewakili koorporasi tertentu kalah saing dibandingkan status facebook yang terkesan personal. Stigma bahwa sebuah media berkiblat pada “poros” dan kepentingan tertentu memperkuat persepsi masyarakat untuk melabeli berita yang disajikan tanpa alasan. “Ah… koran ini  kan punyanya si itu, pastilah kabarnya yang baik-baik saja”. Independensi media yang kian dipertanyakan, melahirkan media alternatif yang hadir untuk mewadahi opini-opini individu. Bahwa individu memiliki kekuatan dan dapat menggiring opini layaknya media mainstream pada umumnya.

Malangnya, keadaan ini dimanfaatkan oknum tertentu untuk mempermudah kepentingannya, beberapa media “abal-abal” sengaja dilahirkan untuk menyebarkan kebohongan atau opini yang menyudutkan, akun “abal-abal” sengaja dibuat di media sosial untuk menyebarkan status-status tanpa landasan fakta dan sarat akan kebohongan yang menyesatkan.

Oplah koran yang merosot hampir mencapai 8,9 persen di tahun 2015 adalah bukti pergeseran preferensi masyarakat soal sumber informasi. Pesatnya pertumbuhan teknologi menuntun gairah masyarakat untuk mendapatkan informasi secepat dan semudah mungkin. Menunggu esok hari untuk sebuah informasi yang terjadi hari ini pun semakin dihindari. Akibatnya, sajian berita khas redaksi sebuah media berkredibilitas tinggi terkalahkan oleh media-media daring yang rata-rata hanya menjual kecepatan bukan intisari.

Sebab, pada dasarnya media mainstream menyajikan preferensi mereka terhadap sebuah peristiwa yang menurut redaksi sesuatu yang penting untuk diketauhi pembaca sedangkan media kekinian yang berkeliaran dalam dunia digital menghadirkan sesatu yang diinginkan pembaca dibumbui judul yang menggelegar, meskipun peristiwa tersebut tidak terlalu penting. Seperti, preferensi koran nasional untuk menghadirkan berita terkait isu politik atau ekonomi dan preferensi media daring kekinian untuk membahas siapa saja selebriti tanah air yang terjun dalam bisnis oleh-oleh kekinian sebagai respon atas banyaknya masyarakat yang membicarakan hal tersebut.

Kekuatan Media Abad 21

Perkembangan teknologi yang semakin pesat memberikan tantangan tersendiri bagi media demi menyelematkan pembaca dari kesesatan. Dalam artikel bertajuk “CGI and AI are Going to Turbocharge ‘Fake News’ and Make it Far Harder to Tell What’s Real” teknologi manipulasi seperti Computer Generated Imagery (CGI) dan Artificial Intelligence (AI) yang terus dikembangkan memungkinkan para penyebar hoax untuk menciptakan audio dan video palsu yang berakibat pada potensi keraguan terhadap keaslian media visual. Salah satu contohnya adalah video “Synthesizing Obama” buatan peneliti di Universitas Washington yang menggunakan AI untuk menghasilkan video palsu tentang pidato mantan presiden Barack Obama berdasarkan analisis puluhan jam  terhadap rekaman pidato masa lalunya.

Dalam hal ini media besar memiliki peran penting untuk meluruskan persepsi masyarakat agar terhindar dari kesesatan virus hoax yang telah menyerang berbagai sisi. Isu soal keloyoan media mainstream, sebagai akibat dari merosotnya pendapatan sekiranya bukanlah sesuatu yang mengakibatkan media kehilangan daya. Sebab, ketika kita berbicara media ini adalah soal industri. Perusahaan-perusahaan media yang gulung tikar karena persaingan atau kuantitas tulisan “nirfaedah” di media daring bukanlah parameter yang cocok untuk kekuatan industri media. Literasi media tidak hanya terbatas pada media mainstream, media daring pun turut mengambil peran dan potensi yang sama dalam mengajarkan masyarakat untuk memilih dan memilah informasi.

Kian hari media semakin mengakomodasi kebutuhan pembaca, berbagai jenis pilihan model media yang hadir sebagai respons atas permintaan konsumen yang mengalami perubahan preferensi, media tidak lagi menjadi penyedia informasi tetapi juga penerima dan penyalur informasi dari masyarakat.

Sadarkah bahwa anda telah menghabiskan banyak untuk membaca berita hoax ini? Dalam tulisan ini memang dibahas mengenai contoh-contoh berita hoax. Ini semata sebagai paparan begitu pesatnya hoax mewabah. Namun, apakah mudah untuk membedakan mana yang fakta dan bualan semata? Oleh karena itu, kebiasaan baik harus dibangun dalam diri. Membiasakan untuk cross check informasi yang telah didapatkan, bukan karena tulisan mengandung data maka isinya adalah benar seluruhnya dan yang paling penting like, share, dan tulisan “Aamiin” dalam kolom komentar bukanlah jaminan untuk masuk surga. 2018 akan segera menyapa, resolusi membangun peradaban minim hoax menjadi menarik dan penting bagi generasi cerdas masa kini.

 

Tim Redaksi ITS Online

 

Berita Terkait