ITS News

Minggu, 01 September 2024
04 Mei 2018, 07:05

MATIC, Solusi Kesenjangan Harga di Indonesia Timur

Oleh : itsmis | | Source : -

Dari kiri I Made Bayu Dimaswara Putra, Muhammad Athoillah dan Chrisna Anam Guntara berpose usai juarai Kompetisi Katulistiwa di Universitas Brawijaya.

Kampus ITS, ITS News – Besarnya biaya distribusi dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan harga di wilayah Indonesia Timur. Untuk mengatasi hal tersebut, tiga mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mendesain sebuah konsep sistem bongkar muat kapal yang lebih efisien di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara.

Tim yang terdiri dari I Made Bayu Dimaswara Putra, Muhammad Athoillah dan Chrisna Anam Guntara ini menciptakan sebuah sistem bernama MATIC (Maximaled Maritim Logistic). Sistem ini berfokus pada efisiensi waktu tunggu pada saat bongkar muat kapal di pelabuhan.

Dalam inovasinya, tim binaan M Hafizh Imaddudin ST MT ini menerapkan penggunaan peralatan-peralatan canggih yang dapat mempercepat proses bongkar muat di pelabuhan. Alat-alat tersebut mencakup derek peti kemas (Ship to shore crane), truk straddle (Straddle carrier), dan derek penumpuk otomatis (Automatic stacking crane).
“Dengan siklus ganda, proses bongkar muat bisa dilakukan bersamaan, sehingga bisa lebih efisien” imbuh mahasiswa yang aktif di Jamah Masjid Al Azhar (JMAA) Kampus ITS Manyar tersebut.

Selain menyediakan peralatan canggih, ketiganya juga mendesain ulang pelabuhan dengan melakukan perluasan. Hal itu dilakukan guna menambah daya tampung pelabuhan yang tadinya 275 ribu TEU’s per tahun menjadi 3 juta TEU’S per tahun. “Perluasan ulang ini juga kami hitung secara rinci dengan rencana anggaran biaya, dan menurut juri inilah salah satu keunggulan kami dari tim lain,” jelas mahasiswa asal Madiun tersebut.

Chrisna Anam mengaku dipilihnya pelabuhan peti kemas Bitung karena letaknya yang strategis, berada di jalur perdagangan internasional dan menjadi poros logistik Indonesia bagian timur. “Pelabuhan ini memiliki banyak potensi namun peralatan dan sistem bongkar muatnya kurang memadai,” ujar mahaiswa tahun kedua tersebut.

Hasilnya, perbaikan yang dilakukan oleh ketiga mahasiswa tersebut mampu menekan harga hingga 20 hingga 40 persen. Apabila air mineral di Indonesia bagian timur berharga Rp 12.500 hingga Rp 20 ribu, dengan mengaplikasikan MATIC di pelabuhan harga tersebut dapat ditekan hingga Rp 7 ribu sampai Rp 13 ribu saja. “Penurunan harga ini juga berlaku barang pokok lainnya seperti beras dan kebutuhan lain,” terang Chrisna Anam.

Dengan inovasinya tersebut, ia berharap bisa menjadikan Pelabuhan Bitung sebagai penghubung jalur internasional Laut Pasifik, serta menjadi gerbang dan sentra logistik perdagangan Asia-Pasifik. Selain itu optimasi bongkar muat juga bisa membuat Pelabuhan Bitung menjadi pusat kegiatan ekspor Indonesia Timur guna menunjang perkembangan industri di sana. “Yang tak kalah penting bisa mengurangi perbedaan harga di wilayah timur karena berperan sebagai poros logistik,” tuturnya.

Inovasi sistem logisitik tersebut pun membawa mereka menjuarai kompetisi Karya Ilmiah Katulistiwa yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya pada Minggu (22/04) lalu. (hen/mik)

Berita Terkait