Opini, ITS News – 10-11 adalah sebuah kombinasi angka yang merepresentasikan keberanian dalam berjuang. Bulatnya tekad dan semangat selalu dipegang erat-erat. Keringat dan darah bercucuran mengalir deras, simbol pengorbanan diri atas segala penderitaan. Mungkin begitulah sedikit gambaran para pejuang yang bertempur di tanggal yang sama 73 tahun silam.
Tak mudah memang menggambarkan kobaran semangat juang mereka saat itu. Kata-kata saja hanya membuahkan bayang-bayang tanpa rasa yang tertanam. Objek yang disimbolkan pun masih terbatas pada yang mudah dicerna. Memang begitu upaya paling mudah membawanya ke dalam bayang-bayang pikiran orang-orang zaman baru ini.
Apabila menggambarkan saja tak semudah itu, lalu bagaimana dengan mensejajarkannya? Menyamakannya dengan perjuangan yang telah dilakukan pemuda zaman ini yang bahkan terkadang mereka sendiri masih bingung tentang tujuan mereka. Mungkin opini ini akan disangkal dengan prestasi anak bangsa di kancah dunia. Namun apakah salah jika mengkritik sebuah masalah yang tak kunjung usai, tak peduli seberapa berat piala dan emas yang diboyong ke negeri ini? Bertahun-tahun yang lalu keadaannya pun tak jauh berbeda. Capaian pemuda masih belum cukup menuntaskan jiwa-jiwa hitam yang kian menyebar.
Lalu apa maksud peringatan hari pahlawan? Adakah yang tahu di mana jiwa pahlawan yang diwariskan itu? Mungkin saja ia masih bersembunyi. Bersembunyi di balik kasus kericuhan pendemo atas nama keadilan, bersembunyi di balik keributan antar para pendukung sepak bola, bersembunyi dibalik makin maraknya kasus pelecehan seksual di kalangan terpelajar, bersembunyi di balik tegukan miras sebagai hiburan mengasyikkan di bawah lampu diskotik. Ya, kami harap ia masih sembunyi.
Semoga saja harapan itu tak pupus dalam waktu dekat. Namun sebenarnya cermin telah mengartikan itu semua. Menurut data UNICEF tahun 2016, untuk kekerasan sesama remaja (pemuda) di Indonesia saja, diperkirakan telah mencapai 50 persen. Sejenak hamba merenung. Di balik angka ini, masihkah adakah engkau wahai pahlawanku? Atau mungkin saja pemuda zaman ini mengidentikkan pahlawan dengan pertempuran. Asal ada lawan, ia lawan. Kalau benar begitu adanya, ini berarti jiwa pahlawan telah hilang ditelan zaman. Hanya fisik yang jadi tolak ukur kehebatan. Tanpa pikir panjang, semua dibabat.
Beranjak dari kasus yang terang, mari lihat ke kasus yang samar. Dari sang pembawa perubahan, mahasiswa. Seringkali mahasiswa dipandang sebagai pioneer harapan bangsa di masa depan. Idealismenya yang tinggi kerap kali mereka gunakan untuk mengkritik politik dan lembaga negara negeri ini. Hingga lupa menyelesaikan masalah pribadinya sendiri. Kelalaian demi kelalaian masih dapat diungkap dari kehidupan mahasiswa.
Silakan dibahas dari hal paling sederhana, misalnya terkait akademik. Tugas utama mereka sebenarnya ada di sini. Tanpa merendahkan kepentingan lain, seharusnya tugas inilah yang paling dikedepankan. Namun entah karena terbuai pergaulan, budaya titip absen saja masih banyak terjadi. Seperti inilah perjuangan yang mereka galakkan. Semangat pahlawan pun tak pantas rasanya disandingkan dengannya. Mari bercermin.
Belum lagi dengan arogansi institusi, fakultas atau bahkan departemen yang sangat menjiwai dalam dada mereka. Hanya karena masalah sepele, seolah akal cerdas mereka mati sementara saat itu. Solidaritas menjadi alasan utama matinya idealisme. Tampak jelas sudah, pahlawan yang mereka maksud amat jauh jaraknya dari kebenaran. Dengan logika sederhana, mana mungkin pahlawan akan bertempur melawan pahlawan pula?
Pembinaan khusus bagi para pemuda ini mulai dirasa perlu. Namun percuma saja jika itu hanya sekadar menjalankan kewajiban. Rasa seorang pahlawan yang sesungguhnya takkan didapat tanpa adanya pengakuan diri dan besarnya hati. Hanya diri mereka sendiri yang mampu mengubah. Bukan institusi, bukan universitas dan bukan pula pemerintah. Sungguh bangsa ini merindukan keringat dan darah yang menetes 73 tahun silam itu.
Dengan momen hari pahlawan ini semoga mendatangkan kembali sosok pahlawan yang telah lama tertidur. Selamat datang pahlawan, tunjukkan kontribusimu kembali untuk negeri ini. (mad/owi)
Akhmad Rizqi Shafrizal
Mahasiswa Teknik Sistem Perkapalan ITS
Angkatan 2018
Surabaya, ITS News – Kenyamanan dan fungsionalitas menjadi aspek utama dalam desain bangunan yang ramah lingkungan, tak terkecuali bagi
Kampus ITS, Opini — Kontribusi ibu di dalam tumbuh kembang anak merupakan aspek yang krusial, terutama bagi mahasiswa baru
Kampus ITS, ITS News — Menyokong antisipasi terjadinya bencana serta terus berupaya mengedukasi masyarakat, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui
Kampus ITS, ITS News — Transisi menuju energi terbarukan menjadi fokus utama demi lingkungan yang berkelanjutan. Mendukung hal tersebut,