Kampus ITS, Opini – Media massa atau yang biasa disebut pers, telah menemani masyarakat Indonesia menghadapi hari-harinya yang kaya akan warna. Tercatat sejak pers Indonesia pertama lahir yakni melalui Kantor Berita ANTARA pada 1937, masyarakat Indonesia mulai secara perlahan menyantap sajian tulisan yang disajikan lembaga pers tersebut. Tulisan-tulisan jurnalis yang kaya akan kosakata tertuang di atas lembaran kertas dan beredar ke seluruh penjuru negeri.
Kini delapan puluh tahun sudah berlalu. Berbagai pembaruan sudah mulai terjadi pada pers. Dari berbasis media cetak hingga kini merambah ke media digital. Khususnya pada perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang sedang kita hadapi, masyarakat semakin mudah mendapatkan akses pemberitaan dari pers. Pers yang dahulu terbatas hingga lebih mudah diawasi kredibilitas beritanya, saat ini semakin kehilangan rasa sakralnya.
Beberapa media yang sudah memiliki nama dan penikmatnya justru menyalahgunakan kepercayaan pembacanya dengan menyajikan berita yang kurang valid, tidak jelas, bahkan tidak bermanfaat. Demi rating, popularitas, dan kepentingan golongan. Tak sedikit pers Indonesia yang menggadaikan kredibilitas dan netralitasnya hanya untuk hal tersebut. Berita-berita yang disajikan semua bergantung dari lembaga pers tersebut. Lembaga pers lah yang menentukan sudut pandang macam apakah yang akan mereka perlihatkan ke ranah publik.
Dari satu peristiwa saja akan menghasilkan beberapa sudut pandang yang berbeda antara satu lembaga pers dengan lembaga pers lainnya. Masyarakat pun yang bertindak sebagai pembaca dan penerima informasi harus bersikap lebih bijak dan mencari tahu kebenaran berita tersebut terlebih dahulu sebelum menentukan sikap. Nyatanya, saat ini sebagian masyarakat Indonesia cenderung menelan mentah-mentah berita yang disajikan lembaga pers.
Mungkin hal ini berhubungan dengan salah satu hasil survei beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa tingkat literasi di Indonesia berada di kondisi yang memprihatinkan. Sehingga masyarakat hanya membaca sebagian dan seakan menolak untuk mencari tahu lebih dalam kebenarannya. Oleh karena itu, pembaca kini dituntut harus mempersiapkan diri lebih baik lagi dalam menghadapi gempuran berita dari lembaga pers. Meskipun berita yang dibaca merupakan hasil tulisan dari lembaga pers yang cukup terpercaya, namun kita sebagai pembaca harus tetap bijak.
Karena sejatinya, berita-berita tersebut hanyalah tulisan manusia yang tentu dapat melakukan kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sebagai pembaca yang baik, kita harus menjadi pengawas kinerja lembaga pers. Karena lembaga pers manapun pasti memerlukan kritik dan saran yang dapat membangun lembaga pers tersebut menjadi lebih baik. Sehingga pada akhirnya lahirlah lembaga pers yang berkualitas dengan pembaca yang sama berkualitasnya. Tercipta hubungan antar penulis (lembaga pers) dan pembaca (masyarakat) yang sehat. Dan secara tidak langsung menaikkan level Indonesia di kancah Internasional.
Muhammad Faris Mahardika
Mahasiswa Departemen Teknik Kelautan
Angkatan 2018
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)