Kampus ITS,ITS News – Suplai bahan bakar minyak ke pulau-pulau kecil membutuhkan rantai distribusi yang panjang. Mengambil studi kasus di Kepulauan Lease Maluku, Ir Edwin Matatula, MT berikan solusi atas permasalahan rantai akhir distribusi bahan bakar minyak dalam disertasi yang dipresentasikannya dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Teknik Transportasi Laut Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Senin (4/3).
Energi merupakan salah satu komoditi penting yang dibutuhkan masyarakat seluruh daerah, termasuk kawasan-kawasan kepulauan terpencil seperti wilayah kepulauan Maluku. Bahan bakar minyak (BBM) saat ini menjadi komoditi energi yang dominan dikonsumsi masyarakat, baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Berdasar data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, konsumsi BBM nasional sepanjang 2018 sebanyak 75 juta kilo liter. Sedangkan pada wilayah Maluku sendiri, jenis BBM yang dominan dikonsumsi adalah premium, kerosin dan solar.
Berdasar penelitian Ir Edwin Matatula MT dalam disertasinya, angka konsumsi BBM masyarakat setiap tahunnya mengalami peningkatan. Secara linier, peningkatan ini tentunya harus ditunjang dengan adanya infrastruktur pendistribusian BBM yang memadai ke berbagai daerah, termasuk kepulauan Lease Maluku yang terpencil. “Proses distribusi BBM di wilayah Maluku dan wilayah kepulauan lain umumnya dihadapkan pada geografis wilayah yang tersebar serta dukungan infrastruktur yang minim,” jelas pria yang kerap disapa Edwin ini.
Jaringan distribusi BBM umumnya terdiri dari beberapa titik layanan, yakni dari terminal menuju depot kemudian menuju agen penjualan atau konsumen. Titik titik layanan ini, lanjut pria kelahiran 1969 ini, dalam konteks wilayah kepulauan tidak berada di semua pulau. Sedangkan sarana angkutan BBM pada level penyediaan akhir menggunakan kapal rakyat dengan sistem layanan port to port (pengiriman barang di sekitar pelabuhan). Sarana angkut ini memang memiliki keunggulan di sisi biaya yang relatif murah dan juga sederhana, namun di sisi lain masih banyak resiko yang ditanggung karena kapal yang tidak didesain untuk mengangkut muatan cair terutama BBM.
Dari sisi teknis, kapal-kapal ini memiliki kekurangan yang cukup berpengaruh. Dimensi dan performa kapal yang kurang memadai pun mengharuskan proses pendistribusian mengalami stagnasi pada waktu-waktu tertentu akibat kondisi cuaca yang tidak bersahabat, yakni pada saat gelombang air laut sedang tinggi. Dampak cuaca buruk ini menyebabkan terganggunya proses suplai dan ketersediaan bahan bakar pada tingkat konsumen. “Kondisi ini sekaligus menjadi pemicu terjadinya lonjakan harga BBM di tingkat konsumen pada waktu-waktu tertentu,” papar alumnus program magister Departemen Teknik Transportasi Laut ITS ini.
Dalam proses distribusi muatan cair, dikenal tiga tipe sistem alat angkut BBM kepada konsumen, yakni Tug-Barge, Self Propelled Oil Barge (SPOB) dan Kapal Tanker. Berdasar analisis Edwin, terdapat lima kriteria yang meruncingkan pilihan alat angkut yang diusulkan nantinya. Kelima kriteria tersebut adalah biaya logistik, infrastruktur, performa kapal, keandalan dan fleksibilitas. Berdasar lima kriteria tersebut, maka dipilihlah Tug Barge sebagai sistem alat angkut yang sesuai untuk pendistribusian BBM di Kepulauan Lease Maluku ini.
Sistem yang diusulkan merupakan sistem pengangkutan dengan menggunakan sarana angkut berupa tongkang sebagai ruang muat dan kapal tunda sebagai mesin penggerak nya. Tongkang sendiri adalah alat apung yang berbadan lebar dan peralatan serta umumnya mempunyai geladak yang digunakan untuk pengangkutan. Sedangkan kapal tunda adalah kapal dengan daya mesin besar yang digunakan untuk mendorong kapal lain untuk menarik tongkang-tongkang di pelabuhan.
Konsep yang diusulkan pria kelahiran Tiow ini terdiri dari sebuah kapal tunda dan empat tongkang. Wayame dipilih sebagai titik pemberangkatan dan titik akhir pelayaran dalam rute operasinya. Untuk rute pertama, kapal diberangkatkan menuju Pulau Nusalaut sebagai pulau terkecil dengan permintaan terendah untuk dilakukan bongkar muat. Kemudian dilanjutkan menuju Pulau Saparua dengan meletakkan sebuah tongkang. Rute kembali dilanjutkan menuju Pulau Haruku dengan operasi yang sama dengan sebelumnya hingga kapal kembali ke Wayame, Ambon. “Untuk dua tongkang sisanya, akan ditukar dengan tongkang pertama ketika isi tongkang tersebut hampir habis dengan rute operasi yang masih sama,” jelasnya ayah tiga anak ini.
Adanya sistem alat angkut BBM berupa Tug Barge dengan berat kosong kapal 183,5 ton ini, jelas Edwin, dapat menjadi contoh riset untuk sistem pendistribusian BBM ke pulau-pulau terpencil lainnya, tentunya dengan kondisi yang berbeda-beda. “Sebab, dengan sistem ini banyak kemudahan bagi proses distribusi BBM ke pulau-pulau terpencil mendatang, seperti penghematan keseluruhan unit biaya transport mencapai 41,5 persen per tahunnya,” pungkas dosen Jurusan Teknik Perkapalan Universitas Pattimura Ambon ini. (mad/owi)
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus membuka pintu kolaborasi guna meningkatkan kompetensi mahasiswanya dalam
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali mengukir prestasi dengan menempati posisi ke-77 dunia dan peringkat
Kampus ITS, ITS News — Memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2024, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Pengurus Wilayah
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kompleksitas pasar kerja nasional, Institut Teknologi Sepuluh