ITS News, Opini – Seni merupakan sebuah kebutuhan yang menyertai kehidupan setiap manusia. Adanya interaksi dalam jiwa membuat karya seni tak terpisah dari pola pikir dan perilaku manusia. Termasuk juga film, karya yang merupakan kombinasi beragam wujud karya seni di dalamnya. Memperingati Hari Film Nasional yang jatuh setiap tanggal 30 Maret, banyak hal yang dapat diapresiasi dari prestasi film lokal saat ini. Namun jika diulas lebih dalam, masih banyak koreksi terhadap proses produksi dan apresiasi masyarakat akan karya tanah air ini.
Memasuki peringatan ke-57 semenjak diresmikan pada 1962 oleh Presiden Republik Indonesia ke-3, Prof Dr Ing H Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng, perfilman Indonesia telah mengalami peningkatan kualitas yang drastis. Kualitas yang dibuktikan dengan mendunianya karya-karya film serta para pemerannya ini menjadi bukti daya saing film lokal yang tinggi diantara film-film luar negeri. Banyak faktor utama yang menjadikan film nasional begitu apik, diantaranya seperti kemampuan pemeran, alur cerita yang bagus, artistik dan efek yang modern, pengambilan angle kamera yang keren dan lain sebagainya.
Namun siapa sangka, terdapat beberapa judul film lokal kelas dunia yang justru kurang diapresiasi masyarakatnya sendiri. Sebut saja Istirahatlah Kata-Kata, Turah, Battle Of Surabaya, Ruah, Humba Dreams, Mobil Bekas dan Kisah-kisah Dalam Putaran dan masih banyak lagi. Banyak hal yang mempengaruhi, baik dari internal dan eksternal. Dari sisi eksternal, film-film Hollywood yang semakin menguasai pasar perlahan membubarkan mindset masyarakat tentang kualitas film lokal. Jadwal tayang film luar pun terkadang lebih banyak diberi ruang dibanding film lokal. Efek dan alur cerita yang sangat memukau, membuat masyarakat selalu menganggap film Hollywood selalu lebih unggul.
Pun demikian, tipe masyarakat Indonesia yang ekonomis, membuatnya harus memprioritaskan film yang hendak ditontonnya. Dan sesuai dengan anggapan seluruh masyarakat, film Hollywood yang lebih dikenal dan dinantikan sejak bertahun-tahun sebelumnya menjadi prioritas utama mereka. Perlahan hal ini yang mempengaruhi rendahnya apresiasi dan wawasan masyarakat akan kualitas film lokal. Persaingan ini nyatanya terjadi, namun tak banyak orang yang menghiraukan. Menjadikan industri film nasional seolah ‘dijajah‘ oleh film-film luar negeri.
Berbeda dengan faktor eksternal, faktor internal lebih menitikberatkan kesesuaian karakteristik film dengan minat masyarakat. Rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap film lokal sejatinya dimulai dari sini. Saat ini, masyarakat banyak yang gandrung dengan genre action, sci-fi, romance dan horror. Menjadikan perusahaan film lokal berusaha mengikuti selera modern ini dalam genre filmya. Meskipun banyak apresiasi yang bermunculan bagi sebagian film, terkadang kritikan juga masih diutarakan masyarakat. Alur cerita yang sedikit berat merupakan salah satu hal yang kurang disukai masyarakat lokal juga menjadi sebab rendahnya apresiasi untuk karya bangsa ini.
Selain itu, kurangnya wawasan masyarakat akibat upaya promosi sebagian film yang kurang, menjadikan banyak film berkualitas tak dikenal masyarakat. Sebut saja film Athirah, yang mendapat INALCO Award dari festival film internasional des Cinemas d’Asia Vesoul 2017 di Prancis. Hingga saat ini pun banyak orang yang belum pernah mendengar judul itu. Sebaliknya, judul film seri Avenger ataupun film-film produksi Marvel lain amat dikenal dan sering disebarluaskan di berbagai media oleh masyarakat. Pun begitu juga dengan film Sekala Niskala yang mendapat penghargaan Asia Pasific Screen Award- Tokyo Filmex International Film Festival untuk kategori Best Youth Film dan puluhan film-film lainnya yang tenggelam oleh kemeriahan film-film luar negeri.
Upaya pemajuan industri film agar dapat dikenal masyarakat sebenarnya sederhana, yakni promosi yang menyeluruh dan penyebarluasan iklan di berbagai media secara berulang. Selain itu, pengambilan pelajaran dari film-film lokal yang terkenal seperi Habibie dan Ainun, Rudy Habibie, Kartini, My Stupid Boss, Dilan 1990 & 1991, Warkop DKI Reborn, Pengabdi Setan dan lain sebagainya perlu dilakukan sebagai perbandingan. Beberapa pelajaran tersebut diantaranya seperti, kualitas pemeran yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan film, alur film yang menarik, pengambilan emosi penonton yang kuat, serta efek dan artistik film yang memukau dari awal promosi. Dengan ini, diharapkan tak akan ada lagi judul film lokal berkualitas yang kurang diapresiasi masyarakatnya sendiri.
Ditulis oleh:
Akhmad Rizqi Shafrizal
Mahasiswa Teknik Sistem Perkapalan ITS
Angkatan 2018
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)