ITS News

Kamis, 14 November 2024
07 April 2019, 17:04

Pelayanan Kesehatan, Bukan Hanya Tugas Dokter

Oleh : itsfat | | Source : https://www.its.ac.id/

dr Fajri melayani masyarakat di pedalaman Asmat. (Dok: facebook dr Fajri)

ITS News, Opini – Sejak tahun 1950, World Health Organization (WHO) menetapkan 7 April sebagai hari kesehatan sedunia. Penetapan ini tentunya bukan tanpa alasan. Selain dalam rangka memperingati hari terbentuknya badan kesehatan dunia di bawah naungan PBB itu, perayaan momen ini juga diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat terhadap isu-isu kesehatan internasional. Terkait hal tersebut, WHO mengusung tema berbeda tiap tahun dalam kampanye World Health Day.

Pada tahun ini, hari kesehatan sedunia mengangkat tema Universal Health Coverage (UCH). Hal ini tentunya didasari oleh fakta bahwa tidak semua masyarakat dunia mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Dilansir laman resmi WHO, ada tiga poin penting yang disuarakan lewat kampanye ini, yaitu kesetaraan dalam akses kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan, serta perlindungan resiko finansial pasien.

Berkaca pada Indonesia, ketimpangan dalam pelayanan kesehatan merupakan rahasia umum. Pihak pertama yang kerap dipertanyakan andilnya dalam permasalahan ini tidak lain dan tidak bukan adalah sosok dokter. Sebagai tokoh utama dunia medis, merupakan suatu kewajaran bila pihak ini senantiasa diperbincangkan tatkala membahas ketimpangan pelayanan kesehatan. Namun, benarkah demikian?

Ketimpangan pelayanan kesehatan, diasumsikan banyak orang, diakibatkan oleh krisis dokter yang dialami Indonesia. Padahal, menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan, drg Usman Sumantri MSc, yang dilansir oleh suara.com pada Jumat (5/4), Indonesia disinyalir mengalami surplus dokter umum. Hanya saja, keadaan tersebut tidak didukung oleh persebaran dokter yang baik.

Senada dengan hal tersebut, liputan6.com merilis pernyataan Ketua Umum PB IDI, Prof DR Dr Ilham Oetama Marsis SpOG (K), dalam Media Briefing di Sekretariat PB IDI, Selasa 11 September 2017. Ia mengatakan, saat ini Indonesia krisis dokter pada layanan primer (puskesmas, klinik, dan sejenisnya). Banyak pelayanan kesehatan primer yang tidak memiliki dokter dan banyak daerah yang tidak ada pelayanan kesehatan atau jauh dari pelayanan kesehatan.

Menilik dua pernyataan tersebut, rasanya tidak pantas jika dokter menjadi satu-satunya pihak yang harus bertanggungjawab terhadap permasalahan tersebut. Faktanya dokter merupakan individu terbatas yang kinerjanya sangat bergantung pada fasilitas dari pihak lain.

Sebut saja akomodasi serta infrastruktur. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang seluas 1.905 juta km persegi. Dengan bentang alam yang luas, Indonesia masih dihadapkan dengan persoalan Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Medan yang tidak bersahabat juga menjadi pembenaran sulitnya mengakses kawasan tersebut.

Kesulitan ini yang kemudian menyebabkan minimnya infrastruktur kesehatan di pelosok Indonesia. Sekalipun tersedia, sebagian besar memiliki kondisi yang kurang memadai. Pasien maupun dokter di daerah terpencil juga kerap kali harus berjalan jauh membelah hutan atau menaiki perahu demi mendapatkan pengobatan.

Selain itu, pengadaan alat-alat kesehatan juga menjadi sebab. Tidak semua institusi kesehatan di Indonesia memiliki peralatan yang memadai. Padahal, keberadaan alat-alat ini sangat penting dalam membantu proses diagnosa serta rehabilitasi yang dilakukan tenaga medis seperti dokter. Tanpa dukungan alat-alat tersebut kinerja dokter dan tenaga kesehatan lain akan terhambat.

Tidak hanya di daerah, kondisi serupa juga terjadi di kota-kota. Bahkan tidak jarang, pasien harus dirujuk ke rumah sakit di luar negri guna mendapatkan perawatan lebih dengan ketersediaan alat yang lebih canggih. Di sisi lain, data yang dirilis oleh Kemenkes RI tahun 2014 menyebutkan bahwa 95,13 persen alat kesehatan di Indonesia adalah impor. Hal ini menunjukan ketertinggalan Indonesia dalam riset dan industri alat kesehatan.

Selain itu, faktor paling krusial yang mengakibatkan ketimpangan pelayanan kesehatan adalah masalah finansial. Indonesia sendiri masih bergulat menyelesaikan hal tersebut. Apabila permasalahan ini dapat diuraikan dengan baik, maka permasalahan lain seperti ketidakmerataan penyebaran dokter, kesulitan infrastruktur medis, dan akomodasi di daerah terpencil, hingga pengembangan alat kesehatan tentunya dapat diselesaikan.

Lalu siapa yang harus bertanggungjawab? Selain dokter, ada pihak lain yang secara tidak langsung bertanggung jawab. Teknokrat misalnya. Demi mendukung pemerataan pelayanan kesehatan, maka dibutuhkan teknologi yang secara teknis mendukung kerja dokter. Seperti beberapa faktor masalah yang telah dipaparkan, dunia kesehatan memerlukan teknologi medis yang canggih, infrastruktur yang memadai, bahkan mungkin inovasi akomodasi yang efisien.

Tidak hanya itu, sebagai pemegang kendali utama, pemerintah mau tidak mau harus terseret dalam permasalahan ini. Tanpa menutupi fakta bahwa pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat, Indonesia memang masih harus banyak berbenah memperbaiki sistem kesehatannya.

Oleh karena itu, mari kita gunakan momen hari kesehatan internasional ini sebagai pengingat bahwa Indonesia masih punya PR besar dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang layak dan merata bagi setiap lapisan masyarakat. Persoalan bangsa ini tidak bisa hanya diserahkan kepada salah satu pihak saja. Diperlukan sinergi antara dokter sebagai poros dunia kesehatan, teknokrat sebagai pengembang teknologi, pemerintah sebagai pusat kendali, dan masyarakat sebagai pengawal setiap kebijakan yang dibuat demi pelayanan kesehatan Indonesia yang lebih baik.

Fatih Nurul Izzah

Mahasiswa Departemen Teknik Biomedik

Angkatan 2018

Reporter ITS Online

 

Berita Terkait