Kampus ITS, Opini- Sistem pendidikan, satu dari sekian banyak persoalan di Indonesia. Sampai detik ini, saya pikir Indonesia masih belum memiliki sistem pendidikan yang tepat. Singkatnya saya tidak puas dengan sistem pendidikan di Indonesia, Anda?
Menilik sejarah, Indonesia pernah memiliki siswa sebrilian Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia adalah tokoh yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan hanya di Indonesia namun juga di kancah dunia. Namun, apa benar kesuksesan Habibie adalah isyarat suksesnya sistem pendidikan di Indonesia? Saya tidak sepakat. Data UNESCO tahun 2013 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat 121 dari 185 negara ditinjau dari mutu pendidikannya.
Disisi lain, kompetensi pendidik di negara dengan jumlah populasi terbanyak keempat di dunia ini tergolong sangat rendah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, diantara 1,6 juta peserta uji kompetensi guru, lebih dari 1,3 juta diantaranya memiliki nilai di bawah 60, dari rentang nilai 0 hingga 100. Dari ujian ini pula, hanya 192 guru yang mendapat nilai di atas 90. Sementara hampir 130.000 di antaranya hanya mampu memperoleh nilai di bawah 30. Bagi saya, ini adalah hasil yang sangat mengecewakan. Rendahnya kapabilitas tenaga pengajar ini berimbas pada kualitas pendidikan di setiap daerah.
Kemudian, sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia masih sering berubah. Munculnya kata ‘uji coba’ dan ‘kelinci percobaan’ merupakan bukti nyata dari argumen saya. Saya sendiri, ketika Sekolah Menengah Atas, secara langsung menjadi kelinci percobaan dari penerapan Kurikulum 2013. Berbeda dengan kakak kelas saya, angkatan kami hanya perlu memilih satu dari tiga mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) untuk dikerjakan dalam Ujian Nasional. Bagi kami, memang menjadi lebih mudah. Namun yang saya khawatirkan dari kondisi ini adalah pemerintah masih mencari formula yang tepat sebagai sistem pendidikan Indonesia. Atau jangan-jangan memang sistem pendidikan yang berubah-ubah merupakan sistem pendidikan Indonesia sendiri?
Selanjutnya, mata pelajaran yang didominasi mata pelajaran eksakta pun membuat saya merasa heran. Setiap siswa memiliki kemampuan dan daya serap yang berbeda-beda. Ada anak yang senang dengan matematika namun ada anak yang lebih senang dengan pelajaran seni. Einstein sendiri pernah berkata ‘Setiap orang adalah jenius. Tapi kalau kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka selama hidupnya dia akan mempercayai bahwa dia bodoh’.
Sudah begitu, angka putus sekolah di Indonesia yang terbilang masih sangat tinggi. Berdasarkan data pendidikan tahun 2010 disebutkan, sebanyak 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Sebenarnya faktor yang mempengaruhi angka putus sekolah di Indonesia sangat beragam, namun masalah yang paling sering ditemui adalah soal biaya. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, menemukan fakta yang menarik dari hasil penelitian mengenai pemberian beasiswa di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Disebutkan bahwa sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya. Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen).
Jadi, wajarkah jika saya merasa tidak puas dengan sistem pendidikan kita? Padahal sebagaimana peribahasa tentang uang, ‘pendidikan memang bukan segalanya, namun segalanya butuh pendidikan’. Pendidikan yang saya maksud bukanlah pendidikan dalam artian formal saja, namun lebih luas lagi. Pendidikan yang saya maksud disini adalah proses belajar yang setiap orang lalui pada setiap fase kehidupan mereka.
Oleh karena itu, melalui momen Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati pada hari ini, Kamis (2/5). Saya mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengintrospeksi diri. Jangan tanyakan apa yang sudah kalian dapatkan dari sistem pendidikan kita, tapi tanyakan kepada diri kalian sendiri, kontribusi apa yang bisa kalian berikan untuk membuat sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih di masa mendatang.
Ditulis oleh:
Dzikrur Rohmani Zuhkrufur Rifqi Muwafiqul Hilmi
Mahasiswa Teknik Biomedik
Angkatan 2017
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)