Kampus ITS, Opini – Keputusasaan yang dialami para Avengers pasca jentikan jari Thanos di Avengers: Infinity War, merenggut paksa damai mereka. Kesedihan mendalam, membutakannya tentang makna perjuangan yang selama ini dilakukan. Bahkan sekuat apapun Thor, Sang Putra Odin, dapat dengan mudah berubah 180 derajat hanya karena perasaan bersalahnya akan realita pahit itu. Memang tak bisa dipungkiri bahwa saat itu mereka menjumpai titik nadirnya selama membela bumi. Namun, siapa bilang bahwa semua itu adalah akhir dari segalanya?
Bangkit merupakan sebuah bahasa perjuangan. Memang tak mudah menyadarkan semua orang untuk tetap bangkit. Awalnya, Tony Stark pun menolak keras ajakan Steve Rogers untuk kembali mencari solusi dengan konsep mesin waktu. Begitu juga dengan Thor, emosinya melonjak kala nama Thanos terdengar di telinganya. Disinilah letak perjuangan yang sebenarnya. Berusaha menyatukan kekuatan kembali dan meyakinkan semua orang bahwa perjuangan masih bisa berlanjut. Menanamkan harapan dalam keputusasaan dan menghidupkan kembali semangat juang yang telah mengakar kuat dalam hati.
Dari proses bangkitnya Avengers ini, banyak nilai yang bisa dipelajari. Pertama, pesimis akan usaha yang dapat dilakukan bukanlah sifat seorang pahlawan sejati. Bayangkan jika saat itu Tony Stark tetap pesimis dan tidak “coba-coba” dengan eksperimen konsep mesin waktunya. Dan bagaimana seandainya jika Thor tidak mau diajak berjuang hanya karena rasa bersalahnya yang mendalam? Padahal, kedua pahlawan fiksi ini merupakan tokoh penting dalam setiap kemenangan Avengers selama ini.
Nyatanya, segalanya mungkin terjadi. Konsep mesin waktu yang semula dianggap gila pada akhirnya dapat menjadi perantara kemenangannya. Begitu juga dengan Thor, terangkatnya Mjolnir membuktikan bahwa dirinya memang worthy sebagai seorang pahlawan. Terkadang realita tak seburuk yang dipikirkan. Selama kemauan dan semangat untuk berjuang tetap ada dalam jiwa, kemenangan akan terus mengikuti.
Kedua, persatuan merupakan kata kunci utama dalam sebuah kebangkitan. Tanpa rasa persatuan, kebangkitan tak akan bermakna, bahkan terancam gagal. Hal inilah yang membuat Natasha menghampiri Clint Barton di Jepang, Dr Bruce dan Rocket menghampiri Thor yang terisolasi dengan kegilaannya di New Asgard, serta Tony yang memilih menghabiskan hidup tenteram dengan keluarga yang masih ia miliki. Mereka paham bahwa kebangkitan hanya akan menjadi omong kosong ketika tidak ada persatuan di dalamnya. Perjuangan secara terpisah justru menjadi kelemahan terbesar dalam medan pertempuran.
Dalam konteks perjuangan nasional, unsur-unsur kebangkitan ini sudah mulai terlihat pada masa pendudukan Belanda. 20 Mei 1908, hari dimana organisasi penopang usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia, Boedi Oetomo, didirikan. Tak berbeda jauh, persatuan adalah unsur utama dalam kebangkitan Indonesia yang telah lemah setelah dijajah selama tiga abad lebih. Perjuangan kedaerahan nyatanya merupakan sumber kegagalan Nusantara dalam menghadapi penjajah. Sekuat apapun kerajaan, apabila rasa kedaerahan masih ada, tetap saja dapat dengan mudah terkalahkan.
Setelah unsur utama dalam sebuah kebangkitan telah dipahami, mari kita tarik ke masa sekarang. Mari kita jujur bahwa Indonesia saat ini sangat lemah. Masih panasnya nuansa perpolitikan pasca Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019 saat ini menyisakan bekas luka yang kian menyebar. Persatuan dan kesatuan yang selama ini diperjuangkan para pahlawan dengan mudah dirongrong akibat perpecahan antarkubu pembela pasangan calon Capres-Cawapres. Berdalih membela bangsa dan negara, nyatanya rakyat Indonesia saat ini sedang menyerang bangsanya sendiri. Persatuan kian menipis hari demi hari. Padahal, sebuah nilai itulah yang menjadikan Indonesia negeri yang kuat.
Oleh karenanya, dalam peringatan 111 tahun Hari Kebangkitan Nasional ini, mari kita sambung kembali jiwa persatuan dan kesatuan. Akan jadi apa Indonesia tanpa persatuan?. Semua orang tahu bahwa Indonesia merupakan negeri majemuk, namun sedikit yang memahami bahwa kelemahan utama negeri ini berada pada rasa persatuan dan kesatuan. Bukan militer, ekonomi, ataupun budaya. Merongrong persatuan bangsa, sama dengan menjadi perusak bangsa. Jangan menjadi penjajah bersenjatakan Pancasila, sadarilah!
Ditulis oleh:
Akhmad Rizqi Shafrizal
Mahasiswa Teknik Sistem Perkapalan ITS
Angkatan 2018
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)