ITS News

Kamis, 14 November 2024
02 September 2019, 19:09

SIDI ITS Terus Berkomitmen Kembangkan Pulau Kecil Terluar

Oleh : itsmis | | Source : www.its.ac.id

Prof Dr Norbert Gruenwald dari Wismar University of Applied Sciences, Jerman saat menyampaikan materi dengan tema Preparing for the Future of Education

Pulau-pulau terluar memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan batas teritorial negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau. Hal itu menjadi salah satu alasan bagi program tahunan Sustainable Island Development Initiatives (SIDI) yang digagas oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) untuk menggelar konferensi internasional bertajuk Sustainability of Small Island’s Environment di Auditorium Gedung Research Center ITS, Senin (2/9).

Kegiatan yang baru kali pertama diselenggarakan sebagai bagian dari SIDI ini menghadirkan sejumlah keynote speaker dari pemerintah pusat dan perguruan tinggi mancanegara. Di antaranya adalah Staf Ahli Kementerian Pariwisata RI Laksamana TNI (Purn) Prof Dr Marsetio MM, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI Prof Ir Sjarief Widjaja PhD FRINA, perwakilan dari Wismar University of Applied Sciences Prof Dr Norbert Gruenwald, dan perwakilan dari Technische Universitaet Berlin Prof Raoul Bunschoten.

Laksamana TNI (Purn) Prof Marsetio yang juga sebagai Kepala Bagian 2 Tim Akselerasi Pengembangan Pariwisata Maritim, Kementerian Pariwisata saat menjadi pembicara utama di SIDI 2019

Dalam paparannya, Prof Marsetio menegaskan, betapa pentingnya perhatian kepada pulau-pulau kecil, khususnya di daerah perbatasan bagi ekonomi dan kepentingan politik bangsa Indonesia sendiri. “Sebab, pulau-pulau tersebut menentukan titik terluar dari negara Indonesia,” tandas mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) ini.

Ia menjelaskan bahwa sejak zaman kerajaan, Indonesia membangun wilayahnya menggunakan teori bola lampu. Teori ini merupakan perumpaan pembangunan yang terpusat hanya kepada wilayah induk pemerintahan, sehingga mengabaikan daerah terluar, seperti halnya pulau-pulau kecil di perbatasan. “Padahal, Indonesia berbatasan langsung dengan sepuluh negara tetangga, sehingga memiliki potensi konflik garis perbatasan yang sangat tinggi,” ujarnya.

Marsetio mengungkapkan, di antara 10 potensi konflik tersebut, hanya sengketa perbatasan dengan Singapura-lah yang sudah diselesaikan. Apabila Indonesia tidak menangani sengketa perbatasan ini dengan baik dan serius, nantinya akan berakibat pada hilangnya pulau beserta teritorialnya.

“Apabila terus memegang konsep pembangunan bola lampu, Indonesia akan kehilangan kepemilikan atas pulau-pulau kecil berikut potensinya yang berdampak pada penyusutan wilayah teritorial laut kita,” terang Marsetio mengingatkan.

 

Menyikapi banyaknya permasalahan pulau-pulau terpencil tersebut, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggandeng perguruan tinggi dalam pengembangan pulau terkecil dan terluar, termasuk dengan ITS ini. Pada tahun 2012 lalu, ITS mendapatkan mandat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengadopsi dua pulau terpencil yang ada di Indonesia, yakni pulau Maratua di Berau dan Poteran di Sumenep. Dalam menjalankan mandat ini, SIDI ITS menemui banyak sekali tantangan dalam prosesnya.

Sekretaris SIDI, Dr Ing Setyo Nugroho menjelaskan, setiap pulau memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda, sehingga perlu pendekatan yang berbeda pula dalam pengembangannya. “Sebaik apapun tujuan program pemerintah, apabila akhirnya berbenturan dengan aktivitas masyarakat akan gagal juga,” ungkapnya ditemui di sela konferensi.

Ia mencontohkan pada Pulau Poteran yang memiliki banyak potensi pertanian, khususnya tanaman kelor dan rumput laut. Tanaman kelor yang sering dianggap remeh ini ternyata memiliki nilai ekspor tinggi di Jerman. Dalam proses pengembangan pulau yang berada 100 kilometer di sebelah timur dari Surabaya itu, Setyo bersama timnya menjalin kerja sama dengan petani lokal. Hal ini untuk merealisasikan bisnis agro daun kelor dan rumput laut dari prakarsa tersebut.

Namun, pengembangan ini berkali-kali terhambat dikarenakan produk daun kelor yang dihasilkan tidak memenuhi syarat dari Jerman. “Ada yang karena mengandung pestisida, polutan asing, maupun tercemar bakteri salmonella,” tutur Sekretaris Departemen Teknik Transportasi Laut ITS ini. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas masyarakat sendiri seperti banyaknya penggunaan kendaraan bermotor yang menghasilkan polutan.

Setelah tujuh tahun meneliti dan mendampingi pengembangan pulau-pulau kecil itu, tim SIDI menyadari bahwa masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam keberhasilan suatu program. Selain dua pulau tersebut, sejak tahun 2017 tim SIDI ITS juga dipercaya untuk mengadposi satu pulau lagi, yakni Pulau Natuna untuk dikembangkan potensi sumber daya alam dan masyarakatnya.

Meskipun menghadapi banyak tantangan, SIDI tetap optimistis dan terus memperbaharui program-programnya sehingga bisa menjadi lebih optimal. Hingga saat ini, SIDI telah mengadakan berbagai penelitian dan program seperti pengembangan angkutan masyarakat. hidroponik, desain pengelolahan limbah, hotel, dan bangunan bandara di pulau-pulau tersebut.

Sementara itu, Ketua Pelaksana SIDI, Prof Ir Eko Budi Djatmiko MSc PhD menyampaikan bahwa rangkaian acara ini bertujuan untuk menyerap ide dan gagasan inovatif terkini untuk mengoptimalkan dan mengembangkan sektor kepulauan, wisata bahari (marine tourism) dan kemaritiman di Indonesia.

Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Eko itu juga menjelaskan, salah satu persoalan yang sering terjadi di pulau-pulau kecil adalah tidak adanya pemantauan terhadap program pengembangan oleh pemerintah pusat. Hal ini berdampak kepada tidak adanya keberlanjutan terhadap program tersebut. Selain itu, pulau-pulau kecil ini banyak ditinggalkan oleh generasi muda karena sangat terpencil dan tertinggal.

Prof Ir Eko Budi Djatmiko selaku Ketua Pelaksana SIDI 2019 saat menyampaikan laporan kegiatan SIDI 2019

Oleh karenanya, dengan berbagai potensi yang ada, saatnya pulau-pulau di Indonesia harus dikembangkan secara merata. “Mulai sektor wisata bahari, teknologi maritimnya, energi, lingkungan dan lain-lain harus berkembang di Indonesia secara merata,” ujar mantan Dekan Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) dan wakil rektor ITS ini.

Rektor ITS Prof Mochamad Ashari saat memberikan sambutan pada acara SIDI International Conference 2019

Sementara dalam sambutan pembukaannya, Rektor ITS Prof Dr Ir Mochamad Ashari MEng menuturkan, kegiatan yang diadakan oleh ITS ini ada untuk mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara kemaritiman yang bukan hanya terdiri dari pulau besar dan berpenghuni, namun juga pulau kecil.

Menurut guru besar Teknik Elektro ITS ini, Indonesia dengan 17.504 pulau yang memiliki puluhan ribu ragam jenis hewan laut, selama ini hanya dimanfaatkan potensinya pada pulau-pulau besar saja. “Padahal, jika ditelisik lebih dalam, wilayah kepulauan yang kecil dan tidak berpenghuni juga memiliki potensi yang sama dengan pulau besar ini jika dimaksimalkan,” tuturnya.

Rangkaian acara SIDI 2019 di antaranya meliputi kuliah tamu mengenai Transisi Start up Asia dari Industri 4.0 ke Komunitas 5.0, kompetisi vlog, dan konferensi internasional sebagai puncak acaranya. Seminar ini juga bekerjasama dengan pemerintah pusat, daerah, industri maritim, serta perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Selain presentasi paper, di acara ini juga diadakan pameran produk industri yang berhubungan dengan kemaritiman.

Dengan jumlah paper sebanyak 93 yang mayoritas berasal dari Indonesia dan alumni perguruan tinggi Jerman, rangkaian acara yang diadakan SIDI akan ditutup dengan Dinner Cruise di atas kapal milik Politeknik Pelayaran Surabaya untuk melakukan tur sekaligus diskusi ilmiah. (mia/HUMAS ITS)

Prof Raoul Bunschoten dari Technische Universitaet Berlin Jerman saat memaparkan materi Archipelago Urbanism

Berita Terkait