Kampus ITS, Opini – Apakah ada yang tau, peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia? Seberapa genting masalah kemiskinan sampai-sampai diperlukan strategi khusus untuk mengatasi persoalan tersebut?
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dibalik diperingatinya tanggal tersebut sebagai salah satu peringatan internasional, terjadi sebuah peristiwa yang menjadi sorotan dunia. Pada tanggal 17 Oktober 1987, Joseph Wresinski, aktivis kemiskinan pada masa itu berhasil mengumpulkan lebih dari 100.000 massa sebagai bentuk penghormatan kepada korban kelaparan, kemiskinan, kekerasan, dan ancaman di Human Rights and Liberties Plaza di Trocadero, Paris.
Gerakan yang diusung oleh politikus asal Prancis ini berhasil menarik perhatian PBB. Sehingga pada tahun 1992, PBB menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia.
Ditinjau dari segi definisi, ada yang menafsirkan kemiskinan adalah sebuah kondisi dimana manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mengartikannya sebagai hal-hal yang bersifat moral.
Sekali lagi, kemiskinan memiliki makna yang sangat luas. Melalui kemiskinan, lahir ketidakmakmuran, kelaparan, kesehatan memburuk, sanitasi air bersih pun tidak terpenuhi. Selain itu, kemiskinan juga melahirkan ketidakmampuan, ketidakmampuan memperoleh pendidikan dan memanfaatkan teknologi yang rasa-rasanya bakal menjadi solusi dari permasalahan ini.
Berbicara mengenai kemiskinan, tak perlu jauh-jauh, masalah ini bisa kita temui di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Beberapa waktu lalu, pemerintah dengan bangga menunjukkan keberhasilannya menurunkan angka kemiskinan dilihat dari persentase jumlah penduduk, penduduk miskin hingga Maret 2019 tercatat 9,41 persen atau menurun dibandingkan tahun sebelumnya 9,82 persen.
Berdasarkan data milik Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin turun sebanyak 810 ribu tahun ini. Konsep yang digunakan BPS dalam surveinya mengacu pada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hanya tertinggal 10 persen masyarakat Indonesia yang masih tergolong sebagai masyarakat kelas bawah.
Mungkin benar, angka kemiskinan berhasil ditekan. Akan tetapi, ketimpangan sosial ekonomi dari masyarakat strata atas dengan masyarakat strata bawah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Tantangan pemerintah dalam mengontrol garis kemiskinan semakin berat.
Sebagai garis kemiskinan terbaru, BPS menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita sebesar Rp425.250 per bulan per kapita. Indikator ini meningkat dari Maret 2018, di mana garis kemiskinan dipatok Rp401.220 per bulan per kapita. Yang menjadi tantangan, adalah pemerintah harus lebih dapat menjaga stabilitas harga pangan sehingga tingkat kemiskinan terkontrol.
Akan ada kondisi dimana pemerintah dihadapkan pada masyarakat yang sulit keluar dari batas ambang garis kemiskinan. Dari data yang pernah dituliskan, penduduk Indonesia setidaknya tiga tahun sekali terjerat kemiskinan.
Fakta yang menjadi penyebab kemiskinan semakin merajalela adalah tidak semua masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Bak kutukan yang tak akan hilang, mereka yang tidak memiliki akses untuk memperoleh pendidikan akan selalu menjadi masyarakat kelas bawah karena tidak memiliki kompetensi untuk memperoleh suatu pekerjaan yang layak, meskipun dibuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.
Permasalahan-permasalahan yang sudah saya paparkan di atas tidak akan pernah terselesaikan jika hanya mengandalkan pemerintah. Program guna menekan angka kemiskinan yang ditargetkan pada tahun 2020 sampai di angka sembilan persen tak akan tercapai tanpa sinergi antara pemerintah, swasta, dan elemen masyarakat lainnya.
Sebagaimana dicanangkan dalam goals besar-besaran yang ditetapkan 2015 lalu, pengentasan kemiskinan ditempatkan pada poin pertama dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Menjadi perhatian yang luar biasa, melihat target ini bukan saja dalam kelas nasional, tetapi ditargetkan tercapai dalam skala internasional pada tahun 2030.
Sebagai salah satu elemen dalam masyarakat, mahasiswa sebagai ujung tombak penopang peradaban, memiliki peran yang besar untuk mengentaskan persoalan ini. Sebagai seorang mahasiswa, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi persoalan ini. Jika tidak dapat terjun langsung dalam sektor perekonomian rakyat, maka melalui sektor lainnya mahasiswa seharusnya menawarkan perannya.
Melalui momen Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia ini, saya mengajak seluruh masyarakat, khususnya mahasiswa Indonesia untuk mengambil peran dalam mengentaskan kemiskinan. Ada beban dan tanggung jawab besar yang dititipkan bangsa pada pundak mahasiswa. Selain menyuarakan hati rakyat, alangkah lebih baik juga dapat menebar kebermanfaatan bagi umat.
Salah satu contohnya adalah pada sektor pendidikan, melalui komunitas-komunitas yang membantu memberikan pendidikan bagi masyarakat-masyarakat kelas bawah, bisa juga melalui karya atau penelitian yang memiliki manfaat untuk diimplementasikan di masyarakat. Begitu bagaimana seharusnya kita memperlihatkan bahwa kampus dan lingkungan di sekitarnya memang miniatur kehidupan di dunia.
Jangan lupa bahwasannya ketimpangan sosial yang tinggi merupakan sebuah tantangan bagi kita semua untuk memperkecil bahkan menghilangkan ketimpangan yang ada, selain memberantas kemiskinan itu sendiri. Memperingatinya bukan sebuah kewajiban, tapi menorehkan aksi dan prestasi untuk tujuan yang berarti itu sebuah keharusan. Selamat hari Pengentasan Kemiskinan Internasional.
Ditulis Oleh:
Kafa ‘Aisyana Ni’mah
Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Geofisika ITS
Angkatan 2019
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),