Kampus ITS, Opini – ‘Gemah Ripah loh Jiinawi’ begitulah nenek moyang kita memberikan semboyan akan sumber daya alam yang begitu melimpah di Indonesia. Dengan revolusi energi, yakni mengubah budaya memburu atau menggali energi (energy hunting) menjadi budidaya bercocok tanam untuk menghasilkan energi (energy farming) tentunya menjadi salah satu solusi cerdas dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal akan sumberdaya alamnya yang melimpah ruah. Bahkan nenek moyang kita mempunyai penamaan tersendiri akan hal tersebut, yaitu ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’. Maklum saja, karena selain dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati di dunia, Indonesia juga tergolong sebagai negara yang memiliki tingkat endemisme (kekhasan) tertinggi di dunia. Meskipun wilayah darat Indonesia hanya mencapai 1.3 % dari seluruh wilayah darat dunia, namun hampir 10% dari seluruh spesies tanaman dunia terkandung di negara ini.
Melihat seluruh kekayaan sumber daya alam Indonesia tersebut, tentunya pilihan untuk memproduksi bahan bakar nabati (BBN) di seluruh daerah menjadi pilihan yang sangat tepat. Sesuai dengan potensi daerah, sifat lahan, kekayaan sumber energi hijau, dan penguasaan ilmu pengetahuan di masing-masing daerah.
Alangkah bijak apabila warga Papua menghasilkan biofuel dari ubi jalar dan nipah, warga Maluku dari sagu, penduduk Madura dari jagung dan nyamplung, orang Manado dari aren, masyarakat Lampung dari singkong, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada kamus bagi bangsa Indonesia untuk kekurangan energi 20 sampai 50 tahun kedepan, saat sumber energi tak terbarukan diperkirakan sudah mulai habis tertambang.
Sebagaimana kita tahu, di negeri yang sangat melimpah akan ketersediaan sumberdaya alamnya ini, terdapat sekitar 62 jenis tanaman baku biofuel (renewable energy) yang menyebar secara spesifik di tanah air. Energi ini tidak akan habis selama masih tersedia pancaran sinar matahari serta selama kita mau terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait pengolahan BBN.
Pandangan dan pemahaman terhadap energi masyarakat Indonesia sampai saat ini masih dipengaruhi oleh kesadaran purbawi, yaitu naluri “pemburu” dengan mencari dan menggali untuk menemukan dan mengangkat timbunan bekas-bekas fosil (minyak bumi dan batubara) kemudian sebagian besar dibakar untuk menghasilkan energi. Masyarakat hidup seakan terlena dengan murahnya alam menyediakan energi bagi kita dan lupa bahwa energi fosil yang terbentuk sekitar dua ratus tahun lalu ternyata juga akan habis dalam kurun waktu dua ratus tahun saja.
Terlebih saat ini bangsa Indonesia sedang dihadapkan dengan Revolusi Industri 4.0 yang mana kebutuhan akan penggunaan sumberdaya minyak bumi dan batubara akan meningkat drastis. Tentunya dengan digalakkannya BBN sebagai pengganti sumber energi tak terbarukan, persoalan tersebut dapat sedikit demi sedikit teratasi.
Mengingat ketersediaan cadangan minyak bumi di Indonesia akan habis dalam 12 tahun lagi dan cadangan batubara di Indonesia juga akan habis dalam kurun 69 tahun lagi. Maka sangat diperlukan sebuah diversifikasi energi untuk tetap menyongsong kebutuhan energi di Indonesia dalam kurun lima puluh, seratus, hingga beratus-ratus tahun kedepannya.
Menghadirkan sebuah revolusi energi, dari energy hunting ke energy farming ini tidak dapat serta merta dilakukan dengan instan. Peran cerdas generasi muda dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan. Membuat kanal energy farming yang dapat menghasilkan biofuel untuk menggantikan minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi primer di Indonesia saat ini juga membutuhkan kesadaran masyarakat luas, hal ini dikarenakan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya endemik di daerahnya masing-masing sangat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap energi yang dihasilkan secara efektif.
Selain keterlibatan masyarakat, menghadirkan konsep eco-campus yang menyediakan lahan, peralatan, dan pelatihan keterampilan khusus dalam prosedur pengolahan energi terbarukan berdasarkan konsep energy farming hingga menjadi energi yang siap didistribusikan pada masyarakat luas juga tidak kalah pentingnya.
Seperti perjuangan salah satu dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Siti Nurhatika, yang telah berhasil menggandeng para mahasiswa ITS dan masyarakat di daerah terpencil untuk mengubah singkong menjadi bokashi yang dapat dimanfaatkan sebagai kompos tanaman. Hal serupa juga dapat dilakukan oleh generasi muda yang diharapkan dapat menggandeng dan bekerjasama dengan masyarakat luas dalam optimalisasi sumberdaya alam lokal sebagai bahan baku energi terbarukan untuk menggantikan energi yang akan habis tandas beberapa tahun lagi.
Ditulis oleh:
Aulia Marta Lestari
Mahasiswa S-1 Departemen Kimia ITS
Angkatan 2019
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),