ITS News

Rabu, 13 November 2024
27 Oktober 2019, 13:10

Dilema Listrik Negara

Oleh : itsmia | | Source : ITS Online

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga fosil. Sumber: bbc

Kampus ITS, Opini – Belajar dari Sexy Killers, eksploitasi batu bara sebagai sumber energi listrik cenderung menimbulkan masalah. Mulai dari kerusakan lingkungan, hingga permasalahan sosial. Banyak yang menyampaikan kritik kepada pemerintah, juga tetap menuntut konsumsi energi listrik yang murah meriah. Sangat kontradiktif memang. Jika ingin yang murah, bagaimana bisa menentang eksploitasi batu bara yang menjadi sumber daya paling mudah ditemukan dan efisien di Indonesia?

Merespon situasi tersebut, pemerintah terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyatnya. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat ini sedang menyusun peta jalan atau roadmap pengembangan energi terbarukan. Peta jalan ini merupakan salah satu cara agar bisa mencapai target bauran energi 23% di tahun 2025, sesuai Rencana Umum Energi Nasional dan Paris Agreement. Isi dari peta jalan itu nantinya mencantumkan potensi energi terbarukan di setiap daerah, regulasinya seperti apa, teknologi apa saja yang akan digunakan, dan pendanaannya.

Tak hanya itu, guna mengantisipasi terbatasnya cadangan energi fosil nasional serta meningkatnya kebutuhan energi masyarakat, pemerintah menggalakkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Antara lain penggunaan pembangkit tenaga energi panas bumi, tenaga surya, bioenergi, tenaga air dan tenaga angin. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah juga melakukan kebijakan penggunaan biofuel (B-20), yakni pencampuran bahan bakar mesin diesel dengan minyak sawit untuk mengurangi penggunaan energi fosil.

Namun, dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, peningkatan bauran EBT nyatanya masih cenderung stagnan. Sebagai gambaran, bauran EBT meningkat rata-rata 1,16 persen setiap tahun. Dalam kurun waktu lima tahun, total peningkatan bauran EBT hanya sebesar 7,02 persen. Padahal target pada tahun 2025 adalah menjadikan bauran EBT sebesar 23 persen. Artinya dengan sisa waktu 5 tahun lagi, Indonesia dituntut menaikkan bauran energinya sebesar 9,58 persen. Jika pemerintah tidak bergerak cepat dan tepat, bukan sebuah kejutan jika target 23 persen itu tidak akan terpenuhi.

Menurut International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia memiliki kesempatan dan peluang untuk terus meningkatkan persentase EBT. Turunnya biaya energi terbarukan di pasar global secara dramatis akhir-akhir ini membuka kesempatan bagi Indonesia untuk meraih keuntungan dari sumber energi terbarukannya. Yang kurang di sini adalah kebijakan yang memungkinkan pelaku usaha dan masyarakat untuk mengambil peran di dalam momentum.

Dalam laporannya, IISD juga memberikan rekomendasi tentang perubahan kebijakan utama yang diyakini akan meningkatkan penanaman modal di sektor energi terbarukan. Sebab, ihwal ini cenderung terhambat oleh insentif fiskal untuk energi fosil dan perluasan penggunaan batubara. Jika kita lihat tren pasar global, kita bisa melihat adanya penurunan drastis harga energi terbarukan dan teknologi bahan bakar fosil yang cenderung stabil. Jika tren ini terus berlanjut, suatu saat batu bara akan jadi opsi yang lebih mahal daripada energi terbarukan.

Sementara itu, Associate and Country Coordinator for Indonesia, Lucky Lontoh menilai, saat ini kebijakan harga pasokan listrik mensyaratkan harga listrik dari energi terbaru maksimal 85 persen dari harga batubara. Artinya, dalam skema ini pengembang energi terbarukan mendapat 15 persen harga yang lebih rendah daripada pengembang energi fosil walaupun memproduksi energi yang sama besar. Jika angka regulasi ini dapat ditingkatkan, kita dapat melihat perkembangan pasar energi terbarukan yang lebih cepat di Indonesia.

Yang menjadi alasan utama dibalik kebijakan saat ini adalah upaya pemerintah untuk mengamankan listrik yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pemerintah jeli, sebenarnya ada peluang besar untuk mengembangkan energi terbarukan, mencapai target elektrifikasi, tanpa meningkatkan harga listrik atau menggelembungkan subsidi. Selain itu, pada dasarnya harga batu bara yang sangat murah saat ini tidak merefleksikan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara dan perubahan iklim.

Ditulis oleh:

Amira Layyina

Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS

Angkatan 2017

Reporter ITS Online

 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Dilema Listrik Negara