Kampus ITS, Opini – Gemas, kata yang kerap terlintas saat melihat tingkah lucu anak-anak. Dengan semangatnya, berlarian dan tengah asyik mengejar mimpi di usia yang masih belia. Namun sayangnya, masih banyak diantara mereka yang tak seberuntung kawan-kawannya. Hidup berkeliaran tanpa arah, tak diacuhkan dan pantas disebut terlantar.
Cerita pilu ini mengalir dari Riski Arisyandi, pemilik salah satu komunitas peduli anak di Surabaya. Siapa sangka, di sebuah sudut kota dengan predikat layak huni anak pun, masih ada anak-anak yang dilepas secara sengaja oleh orang tuanya. Miris rasanya, lebih-lebih saat mengetahui anak-anak itu tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya. Sekadar makanan pun tak sampai di perut mereka. “Karena ayah dan ibu bertengkar di rumah, jadi nggak dikasih makan,” ucap Riski menirukan perkataan salah satu anak tersebut.
Howard Dubowitz (2000) menyebutkan, anak terlantar adalah suatu bentuk pengabaian terhadap perawatan anak sehingga menimbulkan risiko bagi anak. Pengabaian tersebut tidak semata-mata disebabkan karena kemiskinan, tetapi faktor-faktor lain seperti kesibukan maupun perceraian orang tua.
Mengacu pada penjelasan Dubowitz, terlihat bahwa saat ini problematika anak terlantar semakin kompleks. Menanggapi persoalan ini, negara telah menunjukkan atensinya terhadap masalah penelantaran anak yang tercakup dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Dimana pasal hukum tidak sebatas untuk menjerat pelaku penelantar saja, tetapi juga untuk orang yang membiarkan terjadinya penelantaran tersebut.
Lagi, terlihat memprihatinkan, gencar hukum pidana yang digelontorkan negara tak cukup untuk menarik anak-anak dari status terlantar. Jika sudah begini, pola asuh orang tua sudah semestinya diatur ulang. Mengasuh anak tak melulu tentang pendidikan formal. Sekolah bukan jalan utama anak-anak bertumbuh kembang. Memberikan beban akademik tanpa pantauan dari orang tua tak membuat anak paham mau jadi apa di masa depan.
Jangan pernah lupa, anak-anak tetaplah bocah lugu nan polos yang butuh bimbingan dan perhatian. Mereka tak bisa begitu saja menerima pembelajaran yang masih abstrak di pikirannya. Tak mampu pula mengenyam pendidikan tanpa arahan orang tua. Kontrol perkembangan harus dibarengi afeksi khusus dari orang tua dan sekitar untuk menghilangkan definisi terlantar dari seorang anak.
Teguran keras saya sampaikan pada orang tua yang masih mengutamakan kepentingan pribadi tanpa peduli buah hatinya. Jangan gunakan pertengkaran antara orang tua sebagai alasan menelantarkan anak begitu saja, karena anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Jangan membuat “putih” nya anak ternodai dengan tak dihiraukannya mereka.
Maka dari itu, pada tanggal 20 November yang kita peringati sebagai Hari Anak Universal, mari mengingat bahwa seorang anak berhak memperoleh hidup, mengenyam pendidikan, bermain, mendapatkan pendidikan, dan mendapatkan perlindungan. Semoga nantinya, tak ada lagi berita-berita yang santer terdengar tentang anak-anak yang terlantar.
Ditulis oleh :
Astri Nawwar Kusumaningtyas
Mahasiswa Departemen Teknik Kimia
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)