Kampus ITS, Opini – Sampai detik ini, tak dapat dipungkiri bahwa pelecehan seksual acap kali menyudutkan perempuan sebagai korbannya. Hal tersebut tak lepas dari kurangnya perhatian awam untuk peduli terhadap posisi perempuan, yang kemudian menjadi tengara maraknya praktik pelecehan seksual di ruang publik.
Ambil saja catcalling sebagai contohnya, godaan orang asing yang tak jarang mengusik kenyamanan seseorang, khususnya wanita, kala tengah berjalan sendiri maupun bersama sejawatnya. Meski terlihat sepele bagi orang biasa, nyatanya tindakan tersbut sudah termasuk ke dalam pelecehan seksual. Hal tersebut selaras dengan apa yang diyakini oleh Stop Street Harassment Organization.
Sedangkan menurut Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pelecehan seksual merupakan salah satu dari 15 bentuk kekerasan seksual yang mesti disoroti. Meski faktanya di lapangan masih menunjukan status kegentingan kekerasan seksual, terlabih dengan tidak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS).
Belum lagi, survei terbaru yang diadakan oleh Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, dan Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG) pada tahun 2018 silam yang semakin menunjukkan kepiluan. Dimana hasilnya menyatakan, tiga dari lima perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
Lebih konkretnya, terdapat sebanyak 64% dari 38.766 perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Dan tiga per lima dari mereka mengaku menerima pelecehan seksual berupa catcalling, komentar atas tubuh mereka, serta ucapan berbau seksual. Dan selain itu, terdapat pula 24% pelecehan nonverbal seperti sentuhan dan gesekan badan, hingga penguntitan.
Dalam catatan tahunannya pun, Komnas Perempuan menuturkan bahwa jumlah kasus kekerasan seksual setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun ini saja, laporan kasus kekerasan seksual telah bertambah sebanyak 14%. Lantas, apakah kita akan tetap diam saja dan enggan mengulurkan tangan, terlebih saat ada korban yang berani buka suara.
Sebagai contoh, kasus yang menimpa Via Vallen pada tahun 2018 silam. Banyak sekali komentar negatif yang mengatakan bahwa reaksi Via Vallen terlalu berlebihan atau lebay, ketika menerima sebuah pesan pribadi dari seorang pemain sepak bola. Padahal, Via Vallen secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya merasa terganggu. Di manakah keadilan di negeri ini?
Apakah perempuan harus selamanya terjebak dalam ketakutan akan adanya predator-predator seksual yang sewaktu-waktu bisa memangsa mereka? Apakah perempuan harus selamanya menjadi gender pasif yang termarginalkan?
Untuk itu, dalam rangka memeringati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November ini, saya mengajak rekan-rekan mahasiswa terutama perempuan untuk bisa menjadi kompas moral dan intelektual dalam menghentikan aksi pelecehan seksual.
Ditulis oleh:
Yanwa Evia Java
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)