ITS News

Minggu, 15 Desember 2024
11 Desember 2019, 00:12

Jejak Hak Asasi Manusia di Indonesia

Oleh : itsjev | | Source : ITS Online

Ilustrasi HAM (sumber: kompasiana.com)

Kampus ITS, Opini ⁠— Salah satu amanat dari Undang- Undang Dasar  (UUD) Republik Indonesia (RI) tahun 1945 adalah mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, upaya dalam penegakkan dan perlindungan HAM itu sendiri tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terbukti, masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas hingga saat ini.

Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin perlindungan HAM dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999. Isi dari Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Selain itu, berdirinya Komisi Nasional (Komnas) HAM di Indonesia juga menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam menjamin berdirinya supremasi. Komnas HAM disini berfungsi sebagai lembaga untuk menegakkan perlindungan HAM di Indonesia. Disisi lain, Indonesia juga terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Kondisi ini seharusnya semakin memperkuat penegakkan HAM di Indonesia.

Pertanyaannya adalah apakah HAM di Indonesia sudah benar-benar terwujud dengan kredibilitas yang dimiliki oleh Indonesia?

Menengok catatan sejarah bangsa ini, banyak sekali kasus-kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang masih belum bisa diungkap. Bahkan, banyak di antara kasus-kasus tersebut adalah kasus pelanggaran HAM berat. Namun, seolah-olah selalu menjadi perkara yang diestafetkan kepada pemimpin-pemimpin bangsa yang baru.

Pada tahun 2019 saja, tercatat setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai, yakni peristiwa 1965, penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 198, peristiwa dukun santet, ninja, dan orang gila Banyuwangi tahun 1998.

Apakah pemerintah hanya diam saja?

Ternyata pemerintah sudah berusaha mencari solusi untuk menangani kasus-kasus tersebut. Seperti halnya yang dilakukan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin yang menyebutkan bahwa pemerintah tetap memegang komitmen untuk terus berupaya mencari solusi yang terbaik melalui kajian-kajian oleh berbagai instansi yang berkompeten.

Bukan hanya itu saja, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, selalu memberi pernyataan bahwa Indonesia akan mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Salah satunya adalah ketika berbicara dalam sidang tahunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tahun 2018 silam.

Komnas HAM pun telah mengusulkan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang HAM dan pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR). Akan tetapi, melihat fakta yang ada rasanya penuntasan kasus HAM masa lalu sangat sulit sampai-sampai masyarakat turun tangan dalam mengusut kasus tersebut.

Peserta Aksi Kamisan yang mengenakan topeng Munir (sumber: nasional.tempo.co)

Adapun respons masyarakat dalam menuntut tanggung jawab pemerintah adalah dengan menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Negara setiap hari Kamis pukul 16:00-17:00. Aksi Kamisan tersebut merupakan aksi yang dilakukan sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM dengan mengenakan atribut serba hitam.

Salah satu penggagas Aksi Kamisan, Maria Katarina Sumarsih mengungkapkan bahwa Aksi Kamisan akan terus digelar. Hal ini sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap korban-korban pelanggaran HAM terdahulu. Walaupun harapan dari digelarnya aksi ini sangat kecil, namun semangat untuk menegakkan HAM sangatlah besar.  Disamping itu, aksi ini juga mendapat dukungan dari banyak pihak terutama generasi muda.

Isu mengenai pelanggaran HAM sudah lama menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat. Selain itu, pemberian wewenang kepada Komnas HAM agaknya perlu menjadi pertimbangan. Penegakan HAM tidak bisa berjalan satu arah tanpa adanya dukungan dari berbagai poros dan pihak.

Sebagai mahasiswa, kita menjadi kompas moral dan penyambung lidah rakyat. Memang butuh banyak keringat dan air mata, biaya, tenaga, dan konsistensi dalam penegakan hak asasi. Namun, saya berharap jangan sampai kita berhenti untuk menyuarakan kebenaran dan mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk segera mengungkap sejarah kelam yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Hidup mahasiswa. Hidup rakyat Indonesia.

 

Ditulis oleh:
Yanwa Evia Java
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2019
Kru ITS Online

Berita Terkait