ITS News

Rabu, 13 November 2024
07 Januari 2020, 14:01

Normalisasi dan Naturalisasi Sungai Harus Sama-sama Dikerjakan

Oleh : itsmis | | Source : www.its.ac.id

Kampus ITS,Opini — Berkaitan dengan permasalahan banjir yang menjadi topik hangat di berbagai media, ada hal yang selalu menjadi pertanyaan. Manakah konsep yang benar antara naturalisasi versus normalisasi?. Tanpa perlu mencari konsep mana yang paling benar, kami meninjau dari aspek hidrologi dalam ilmu keteknikan untuk mengatasi banjir.

Dari pandangan hidrologi, ada tiga air yang berperan dalam banjir pada kota-kota yang berada di tepi laut. Pertama, air sungai yang berasal dari hujan yang turun di daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir melewati kota. Air ini bervolume sangat besar. Debitnya dapat mencapai ratusan bahkan ribuan meter kubik per detik, tergantung luas DAS dan curah hujan. Air jenis ini juga mengalir dengan kecepatan cukup tinggi, jika kapasitas alir sungai tidak mencukupi akan terjadi luapan yang mengakibatkan banjir.

Besar atau kecilnya kapasitas sungai dipengaruhi oleh variasi lebar sungai dari hulu sampai ke hilir. Bagi kawasan yang berada di hilir, debit banjir ini disebut banjir kiriman. Namun sebenarnya, itu adalah debit banjir yang memang harus mengalir ke hilir, karena secara alami air sungai mengalir dari hulu ke hilir.

Prinsip untuk mengatasi banjir sungai ini adalah di bagian hulu menahan sebanyak-banyaknya air untuk mengurangi air yang mengalir ke hilir agar sungai masih mampu untuk mengalirkannya. Sementara itu, di bagian hilir memperlancar aliran air agar banjir segera mengalir ke laut untuk menghindari terjadinya luapan air di sungai. Ada beberapa cara untuk menahan air di bagian hulu DAS dalam upaya mengurangi air yang mengalir ke hilir, yaitu membuat tampungan air dalam bentuk bendungan, waduk, situ, embung, atau bentuk tampungan air lain.

Di samping menampung, perlu juga meningkatkan resapan air ke dalam tanah. Caranya, dengan memperluas kawasan hutan atau tanaman tahunan, membuat sumur resapan, kolam resapan, ataupun biopori. Meresapkan air ke dalam tanah dapat dilakukan di daerah hulu, di mana masih banyak lahan terbuka yang tidak tertutup bangunan atau perkerasan, juga lahan dengan muka air tanah rendah dan kondisi tanah tidak jenuh air.

Debit banjir yang telah dikurangi atau dikendalikan di hulu masih cukup besar. Perlu untuk peningkatan kapasitas alir sungai dan perpanjangan waktu debit sampai pada ke hilir, karena umumnya hilir adalah daerah padat permukiman. Di sinilah naturalisasi dan normalisasi dapat dikerjakan secara bersamaan. Naturalisasi dalam ilmu teknik sungai dikenal dengan restorasi, yaitu upaya mengembalikan sungai pada kondisi alami di mana sungai terdiri dari penampang sungai utama dan bantaran sungai di kanan dan kiri, serta dataran banjir atau flood plain. Pada saat aliran normal, air akan mengalir hanya di penampang sungai utama. Sedangkan pada saat banjir, air akan mengalir di sungai utama, bantaran sungai, serta di dataran banjir.

Bantaran sungai yang cukup lebar diperlukan untuk meningkatkan kapasitas alir sungai. Bantaran sungai tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia selama musim hujan karena sewaktu-waktu dapat dialiri banjir. Penggunaan lahan dataran banjir harus beradaptasi bahwa pada lahan tersebut suatu saat akan terjadi banjir atau genangan.

Orang tua dulu membuat rumah panggung pada daerah dataran banjir. Naturalisasi dapat dilakukan pada penampang sungai bagian tengah, di mana secara alami aliran sungai berkelok-kelok atau meander. Aliran sungai berkelok dan adanya bantaran sungai akan menghambat kecepatan aliran. Dengan demikian, tersedia waktu yang cukup lama untuk banjir mencapai ke hilir. Waktu ini berguna untuk memberi peringatan dini dan mengambil tindakan sebagai upaya mitigasi bencana banjir.

Naturalisasi bisa dilakukan di daerah yang memungkinkan untuk pembebasan lahan yang cukup lebar karena dibutuhkan penampang utama dan bantaran sungai dalam bentuk alami. Jadi, untuk daerah yang memungkinkan tersedia lahan yang lebar di tepi sungai dapat dilakukan naturalisasi sungai.

Di bagian hilir sungai, debit banjir harus segera dialirkan ke laut. Namun, karena daerah ini biasanya padat pemukiman, ketersediaan lahan sangat terbatas dan pembebasan lahan juga sangat sulit dilakukan. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas sungai dapat dilakukan dengan pelebaran sungai yang terbatas.

Normalisasi dapat memperlebar, meningkatkan kedalaman aliran atau memperhalus permukaan sungai agar kecepatan dan kapasitas debit meningkat. Dikarenakan ketersediaan lahan yang terbatas, normalisasi dilakukan dengan membuat tebing sungai tegak atau hampir tegak. Sehingga, perlu bangunan perkuatan agar tidak longsor. Perkuatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan sheet pile, dinding beton atau batu kali. Jadi, saat ketersediaan lahan terbatas, peningkatan kapasitas alir sungai dapat dilakukan dengan cara normalisasi sungai.

Kedua adalah air yang berasal dari hujan lokal yang turun di atas kota itu sendiri. Hujan lokal ini mengalir ke saluran drainase kota. Jika saluran drainase kota tidak mampu mengalirkan air hujan, maka akan terjadi genangan. Untuk daerah yang topografinya rendah atau berupa cekungan, diperlukan bantuan pompa untuk mengalirkan air. Tanpa pompa banjir, hujan lokal yang terjadi bersamaan dengan terjadinya banjir di sungai dan menyebabkan muka air sungai lebih tinggi dari muka air di saluran drainase, berakibat pada air dalam saluran drainase tidak dapat mengalir secara gravitasi dan harus menunggu sampai muka air sungai turun.

Kondisi ini yang biasanya dikatakan air dalam saluran antre mengalir ke sungai atau kanal. Bila muka air sungai tinggi berlangsung dalam waktu lama, maka air dalam saluran drainase akan meluap dan menggenang. Sehingga perlu dialirkan dengan bantuan pompa. Adanya kolam, waduk atau boezem untuk menampung air sebelum dipompa dapat membantu pompa untuk mencegah terjadinya genangan.

Untuk mengurangi beban saluran drainase kota dapat dilakukan pemanenan air hujan. Air hujan sebagian dapat ditampung baik dalam tampungan individu di dalam persil seperti tandon, kolam tampung maupun tampungan komunal berupa situ, waduk, boezem atau kolam. Pada daerah hilir, umumnya muka air tanah tinggi dan kondisi tanah jenuh air selama musim hujan, sehingga sangat sulit untuk meresapkan air ke dalam tanah dalam rangka pemanenan air hujan.

Ketiga adalah air laut. Pada kota yang berada di tepi laut, sungai-sungai dan saluran drainase kota akan bermuara ke laut. Air laut dalam kondisi pasang dapat menghambat aliran air di sungai dan saluran drainase yang akan mengalir ke laut. Bahkan bila terjadi pasang tinggi akan terjadi aliran balik di mana air laut mengalir ke sungai. Untuk mencegah air laut masuk ke sungai dibuatlah pintu air. Namun dengan adanya pintu air, air hujan tidak dapat mengalir secara gravitasi sehingga perlu dipompa. Untuk menghindari genangan pada kondisi kapasitas pompa banjir terbatas, perlu adanya kolam penampungan  yang dikenal dengan waduk atau boezem untuk menampung sementara air hujan sebelum dialirkan ke laut.

Bencana banjir tidak dapat ditanggulangi hanya dengan satu cara, melainkan banyak cara yang harus dilakukan bersama dan terintegrasi. Di antaranya adalah bendungan atau tampungan hulu segera dibangun atau diselesaikan, perbanyak resapan air di hulu, normalisasi dan naturalisasi dilakukan di lokasi yang tepat, mengeruk waduk atau boezem di hilir, membuat tampungan hilir, membangun pompa dan pintu air, memperbaiki saluran drainase, serta mengeruk sedimen dan sampah di dalam sungai dan saluran. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk tidak membuang sampah ke sungai dan saluran drainase serta tidak menempati lahan yang merupakan tempat aliran air.

Ditulis oleh:

Dr techn Umboro Lasminto ST MSc

Ahli Drainase dan Anggota Pusat Penelitian Infrastruktur dan Lingkungan Berkelanjutan ITS

Berita Terkait