ITS News

Rabu, 13 November 2024
23 Januari 2020, 08:01

Hentikan Eskalasi Tata Kelola Gagal

Oleh : itsyus | | Source : ITS Online

Ilustrasi Pembangunan Berkelanjutan ( sumber : perpetualpc.com.au )

Kampus ITS, Opini — Pembangunan di Indonesia mirip dansa dan lagu poco-poco. Maju mundur. Ganti pemerintah, ganti kebijakan. Demikian media pernah memberitakan pandangan Megawati Soekarno Putri, salah satu pimpinan partai di Indonesia. Konteks utama dari pandangan tersebut adalah, Indonesia perlu memiliki konsep pembangunan nasional jangka panjang. 

Pesan yang disampaikan pada 2016 itu semakin penting diingat saat ini, ketika pemerintah getol membuat terobosan pembangunan. Bahkan, ide-ide yang di luar kelaziman muncul ke permukaan, menjadi wacana publik. Diantara ide tersebut adalah dalam hal tata ruang dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Bukan hanya penting, jika tidak diterjemahkan secara tepat, pesan itu dapat dibayangi oleh bahaya. Sebagai warga negara, kita harus mencegah kejadian bahayanya, sambil terus mendukung usaha mewujudkan nilai pentingnya.

Lalu, apakah bahayanya? Adalah ketika konsep pembangunan nasional jangka panjang mengabaikan semangat pembangunan itu sendiri. Semangat pembangunan berkelanjutan yang mengharmoniskan orientasi pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Banjir di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal tahun 2020 seharusnya menjadi pelajaran. Sebuah pelajaran penting bukan untuk mencari siapa yang salah. Namun, penting untuk mengoreksi dan menghentikan penyebarluasan cara pandang dan tata kelola pembangunan yang terbukti gagal.

Praktik yang mengorbankan fungsi lingkungan sebagai penyokong kehidupan sosial dan ekonomi, demi alasan mendukung produksi barang dan jasa, harus dievaluasi dan diluruskan. Kawasan resapan dan penampungan air yang berubah menjadi perumahan mewah adalah contoh produk tata kelola yang gagal tersebut.

Kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada keadaan objektif. Sesuai dengan dampak dan urgensinya. Kebijakan tidak boleh didorong oleh keinginan yang telah ditetapkan di awal, apalagi oleh kepentingan pemilik modal, kemudian diikuti dengan penerbitan izin formal.

Banjir Jabodetabek diketahui  menyebabkan korban dan kerusakan sosial ekonomi yang sangat besar. Namun, sebenarnya ia bukanlah sebab paling awal. Ia adalah sebuah akibat. Banjir adalah akibat dari tata kelola pembangunan dan daya dukung lingkungan.

Janganlah tata kelola yang gagal diperluas eksesif ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Baik dalam hal tata kota dan wilayah, juga dalam bidang pertambangan dan industri pada umumnya.

Indonesia belum peduli dengan pengelolaan lingkungan yang nyata ada di depan mata. Juga belum mencegah kerusakan dan pencemaran yang berdampak pada warga negara. Namun, Indonesia sudah berbicara emisi karbon yang merupakan persoalan dunia global. Perumpamaannya seperti orang yang menggunakan parfum tapi tidak mau mandi. Bahkan bisa jadi orang yang bersolek cantik sambil siap-siap bunuh diri.

Mengapa demikian? Menjaga daya dukung lingkungan sejatinya adalah kepentingan sosial untuk melindungi manusia. Sedangkan, pembangunan ekonomi adalah untuk kesejahteraan warga negara. Seperti pesan lagu Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.

Menjaga daya dukung lingkungan adalah tugas legal. Sesuai pesan Undang-undang (UU) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan, ia juga amanat konstitusional. Bahwa, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Itulah mengapa, mencegah kerusakan lingkungan adalah kewajiban melekat bagi negara. Pemerintahlah yang terikat untuk melaksanakannya.

Adapun keterlibatan Indonesia dalam mencegah emisi karbon, itu adalah hak inisiatif. Berpartisipasi dan ikut serta dalam pergaulan dunia dan merawat bumi bersama adalah peran yang bagus dan luar biasa.

Ketika Indonesia sudah memberikan prioritas pada hal yang sifatnya inisiatif dan sukarela, saat itu, Indonesia harus sudah bisa memberi prioritas yang lebih besar pada kewajiban yang mengikat secara sosial, legal dan konstitusional. 

Lebih dari itu, menjaga daya dukung lingkungan adalah salah satu bentuk dari usaha melindungi tumpah darah Indonesia. Pembangunan ekonomi yang didorong oleh kekuatan modal dan yang mensimplifikasi dampak lingkungan akan menjadi beban sosial ekonomi warga negara. Pada gilirannya itu, akan menjadi beban negara dan menghambat tercapainya tujuan pembangunan itu sendiri.

Kasus tumpahan minyak dari kegiatan minyak dan gas terjadi silih berganti. Penyelesaian buntut penutupan tambang yang menyertai konflik pembuangan limbah tailing ke laut  baru saja selesai. Alih fungsi lahan, konflik reklamasi dan banjir tiada henti. Aneka problem sosial ekonomi menyertai upaya pertumbuhan ekonomi. Itulah contoh-contoh beban pembangunan yang  tersembunyi dan berbiaya sosial ekonomi yang tinggi.

Mari kita ingat dan belajar, laporan World Bank yang mengangkat pertobatan ekonomi di Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi dan mengabaikan daya dukung lingkungan harus diperlambat akibat beban pencemaran, problem kesehatan dan kesenjangan sosial. Ditetapkan reorientasi arah pembangunan nasionalnya. 

Sebelum terlambat, senyampang masih bisa memilih, mari kita tempuh jalan pembangunan yang seimbang. Membangun manusia seutuhnya. Pembangunan berkelanjutan yang mengharmoniskan tujuan sosial, lingkungan, dan ekonomi. 

Pesan ini juga untuk momentum saat ini, ketika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersiap membahas Omnibus Law. Dalam upaya cipta lapangan kerja dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kita harus tetap ingat, perumpamaannya adalah minum obat ada dosisnya. Kalau berlebihan, obat berubah menjadi racun. 

Marilah kita cegah bersama, UU baru atau produk Omnibus Law yang dimaksudkan untuk mempercepat  pembangunan, kita hindarkan dari konten tata kelola yang justru menghadirkan kerusakan dalam jangka panjang. Marilah anak bangsa gandeng tangan, kita koreksi dan cegah eskalasi tata kelola gagal dalam pembangunan.

 

Ditulis Oleh :

Prof Ir Mukhtasor MEng PhD

Guru Besar Departemen Teknik Kelautan

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Berita Terkait