ITS News

Senin, 02 September 2024
22 Februari 2020, 23:02

PETA dan Bumerang Perang Tentara Sukarela

Oleh : itsjev | | Source : ITS Online

Museum Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor (sumber: tempatwisatadibogor.net)

Kampus ITS, Opini — Sedikit orang yang tahu tanggal 14 Februari tidak hanya diperingati sebagai Hari Kasih Sayang, namun juga sebagai Hari Perlawanan Pembelah Tanah Air (PETA). Pemberontakan ini menjadi jimat para tentara sukarela dalam melakukan perlawanan terhadap Jepang dan cikal bakal pemimpin ketentaraan Republik Indonesia yang telah merdeka.

Di dalam sejarah nasional bangsa Indonesia, PETA adalah organisasi tentara bentukan Jepang yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, terdiri atas masyarakat pribumi (sebutan bagi orang Indonesia saat itu) dan tentara sukarela. Dalam autobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno berkata, ia sendiri yang mengusulkan orang yang nantinya menjadi kolonel dan jenderal dalam Tentara Nasional Indonesia itu.

PETA mulanya dibentuk sebagai bala bantuan tentara Jepang untuk memperkuat basis militer di Jawa, Madura, Sumatra, dan Bali untuk menghadapi Perang Pasifik.  Ketika Jepang mengusulkan pembentukan tentara sukarela, Soekarno menginginkan supaya dalam jiwa tentara tidak hanya rasa benci terhadap Blok Sekutu Perang Dunia II semata, melainkan juga rasa cinta tanah air yang harus dipupuk dan  Jepang menyepakatinya.

Beberapa tokoh nasional juga pernah tergabung dalam PETA, seperti mantan Presiden Soeharto hingga Jenderal Besar Soedirman. Namun, lahirnya PETA tidak luput dari jasa Gatot Mangkupradja sebagai orang yang berperan besar dalam proses pemohonan pembentukan PETA kepada Kepala Pemerintahan Militer Jepang.

Secara pragmatis, banyak sekali latar belakang yang memengaruhi muda dan mudi itu bergabung bersama PETA. Beberapa diantaranya fokus pada pekerjaan sisanya percaya bawha Jepang harus memenangkan Perang Pasifik demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Namun, banyaknya latar belakang dan motivasi dalam bergabung dengan PETA itu juga menjadi pendorong bagaimana mudahnya Jepang dalam merekrut anggota-anggota PETA. Para prajurit itu nantinya akan mendapat pelatihan sebelum disebar ke beberapa batalion di sepenjuru pulau Jawa, Madura, Sumatra, dan Bali.

Nyatanya, batalion tempat prajurit melakukan pelatihan militer rupanya terpisah dari masyarakat sehingga mereka belum menyadari kekejaman Jepang terhadap rakyat. Hal yang sebenarnya terjadi baru terungkap ketika para prajurit tersebut pulang usai pelatihan. Merekapun paham bagaimana perlakuan tentara Jepang terhadap masyarakat pribumi kala itu.

Kronologi pemberontakan PETAKenyataan pahit ini menuai kecaman keras dari Supriyadi, seorang pemuda berusia 22 tahun. Ia menyiasati rapat rahasia untuk merencanakan perlawanan yang dilakukan sejak pertengahan September 1944. Para tentara tersebut mulai menjalankan aksinya di Blitar. Namun, perlawanan tersebut tidaklah berjalan mulus karena Jepang berhasil mengepung tentara pemberontak dengan mengandalkan bantuan warga sekitar yang tidak ikut melawan serta memanggil bala bantuan dari Malang.

Praktik-praktik kekejaman Jepang seperti kerja rodi, romusha, kerja paksa, di mana rakyat dikerahkan untuk bekerja tanpa dibaya membakar semangat para tentara sukarela. Meskipun perlawanan itu gagal, mantan anggota PETA, Purbo S Suwondo dalam wawancara bersama Historia (historia.id) mengatakan, pada waktu itu pihak Jepang sama sekali tidak menyangka pemuda yang tergabung dalam PETA memiliki nyali untuk melawan mereka (tentara Jepang).

Ketika pada faktanya pemberontakan itu gagal, Jepang menghukum pelaku pemberontak dengan hukuman sekeras-kerasnya. Dari 421 anggota PETA Blitar yang terlibat maka 78 di antaranya dihukum berat. Beberapa dihukum mati termasuk Muradi dan Sunanto Ismangil,  Suparjono, Halir Mangkudidjaja, dan Sudarmo.

Meskipun demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa perlawanan tersebut membuat Jepang ketar-ketir. Mereka sampai mengerahkan seluruh kekuatan militer di Blitar bahkan melibatkan kavaleri dan infanteri dari wilayah lain. Tentara sukarela yang mulanya digunakan sebagai alat pendukung, justru berbalik menyerang karena perlakuan tidak adil kepada tanah air.

Pada 18 Desember 1995, Yayasan Pembela Tanah Air (Yapeta) membuka bangunan yang semula digunakan sebagai Pusat Pendidikan Zeni Angkatan Darat menjadi museum dan monumen PETA. Peresmian dilakukan oleh Presiden Soeharto dan 15 tahun kemudian pengelolaan museum diserahkan kepada Dinas Sejarah Angkatan Darat yang berpusat di Bandung.

Pesan dari perjuangan ini tampak hadir bahwa penanaman rasa cinta tanah air amatlah penting. Perjuangan yang dilandasi rasa nasionalisme yang tinggi, bahkan mati saja tidak akan takut untuk berjuang demi tanah air. Bayangkan saja bilamana penanaman rasa cinta tanah air itu tidak ada ketika tentara PETA melakuan perlawanan, apakah kepentingan rakyat masih bisa berdiri tegak?

 

Ditulis oleh:

Yanwa Evia Java

Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait