ITS News

Rabu, 27 November 2024
05 Maret 2020, 20:03

Doktor ITS Gagas Deteksi Feroresonansi pada Jaringan Sistem Tenaga Listrik

Oleh : itsmis | | Source : www.its.ac.id

I Gusti Ngurah Satriyadi Hernanda saat presentasi disertasi dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Teknik Elektro ITS

Kampus ITS, ITS News – Dalam jaringan sistem tenaga listrik, transformator (trafo) menjadi sebuah komponen krusial, namun terdapat berbagai potensi gangguan yang menyebabkan kerusakan pada trafo. Masalah tersebut menjadi perhatian khusus bagi I Gusti Ngurah Satriyadi Hernanda, mahasiswa program doktoral Departemen Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dalam bahasan disertasinya.

Lelaki yang akrab disapa Didit tersebut lulus sebagai doktor setelah mempertahankan disertasinya berjudul Identifikasi Feroresonansi pada Sistem Tenaga Listrik Berbasis Transformasi Wavelet dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor di Ruang Sidang Teknik Elektro ITS, akhir Februari lalu.

Lebih lanjut, Didit menjelaskan bahwa dalam jaringan sistem tenaga listrik, trafo sendiri berguna untuk mengurangi kerugian listrik dengan cara menaikkan tegangan. “Oleh karena perannya yang vital, trafo harus terus dijaga kestabilannya dari berbagai jenis gangguan,” ujar Didit mengingatkan.

Contoh kerusakan akibat feroresonansi dalam sistem tenaga listrik

Bidang penelitian yang ditekuni oleh dosen Departemen Teknik Elektro ITS ini mengacu pada salah satu gangguan trafo yang sulit diprediksi keberadaannya, yaitu feroresonansi. Feroresonansi sendiri dicirikan dengan adanya overvoltage dan ketidaksesuaian bentuk gelombang. “Dari ketidaksesuaian bentuk gelombang tersebut dikelompokkan menjadi empat jenis yang berbeda,” terang Didit.

Lelaki asal Singaraja tersebut menambahkan bahwa klasifikasi empat jenis ditentukan berdasarkan kondisi stabil. Hal ini dikarenakan pada kondisi transien, sulit untuk membedakan sinyal transien lainnya dengan sinyal feroresonansi. “Keempat jenis feroresonansi tersebut adalah mode Fundamental, Subharmonic, Quasi-Periodik, dan Chaotic,” urainya.

Didit juga menjelaskan bahwa pada mode chaotic, karakteristik magnitude tegangan berubah-ubah. Sehingga, gelombang yang dihasilkan berbentuk nonperiodik. “Hal tersebut menjadikan feroresonansi mode chaotic tidak dapat diinterupsi pada frekuensi berapapun dan sulit untuk diprediksi keberadaannya,” ungkap bapak dua anak tersebut.

Dosen pengampu Laboratorium Tegangan Tinggi tersebut berujar bahwa penelitian ini tidak memungkinkan untuk dilakukan langsung di lapangan, mengingat iesiko tinggi yang dapat ditimbulkan. Sehingga, pengujian feroresonansi dalam studi ini berbasis skala laboratorium. “Untuk itu, dibuat model rangkaian dasar feroresonansi terdiri dari sumber tegangan, kapasitor dan transformator yang terhubung secara seri,” jelasnya.

Realisasi Model Pengujian Feroresonansi

Mengenai pengujian perangkat model di atas, tidak dapat diuji pada sistem tenaga listrik yang menggunakan tegangan tinggi. Hal ini mendasar pada bahaya yang dapat ditimbulkan, sehingga dikonversikan ke tegangan rendah. “Dalam eksperimen ini digunakan trafo rendah satu fasa, komponen kapasitor seri dan shunt, serta switching sebagai komponen pemicu,” tutur alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.

Menyoal pengolahan data hasil pengujian, Didit mengutarakan bahwa digunakan metode transformasi wavelet. Yakni perhitungan matematis linear yang mengacu pada pemecahan sinyal gelombang dengan penskalaan dan pergeseran posisi. “Data yang diperoleh diolah dengan transformasi wavelet diskrit yang memproses sinyal dengan membaginya menjadi bagian frekuensi rendah dan frekuensi tinggi,” beber lulusan SMAN 1 Surabaya tersebut.

Skema Model Pengujian Feroresonansi

Lebih lanjut, Didit menjelaskan bahwa perekaman data menggunakan sejumlah variasi kapasitor dan direkam setiap tegangan sumber dinaikkan 10 persen. Dengan ini, akan didapatkan grafik sinyal transformasi wavelet, di mana untuk setiap variasi kapasitor menunjukkan perbedaan yang signifikan dari tinggi amplitudo gelombangnya. “Untuk gelombang yang menunjukkan feroresonansi sendiri memiliki titik-titik puncak tertinggi dibandingkan gelombang lainnya,” ungkapnya.

Metode transformasi wavelet sendiri telah berhasil diuji coba pada jaringan sistem tenaga listrik di sebuah industri yang trafonya terbakar. Dengan metode tersebut, dapat dianalisis bahwa sampling yang ada menunjukkan gejala feroresonansi. “Memang realitanya kejadian feroresonansi biasanya hanya terjadi pada sebuah sistem yang kompleks, seperti halnya sistem tenaga listrik dalam skala industri tersebut,” terang lelaki kelahiran 23 Januari 1973 tersebut.

Sebagai tindak lanjut ke depannya, mahasiswa bimbingan Prof Dr Ir Adi Soeprijanto MT dan Dr Eng I Made Yulistya Negara ST MSc ini berharap studi penelitiannya tersebut akan berlanjut pada mitigasi feroresonansi. Didit menambahkan bahwa seperti halnya penyakit, baru pendeteksi gejala awal yang ia temukan. “Nantinya, akan berujung pada pengobatan dan pencegahan untuk meminimalisir terjadinya feroresonansi,” pungkasnya. (tri/HUMAS ITS)

I Gusti Ngurah Satriyadi Hernanda bersama keluarga usai sidang terbuka promosi doktor

Berita Terkait