ITS News

Rabu, 13 November 2024
09 Maret 2020, 10:03

Pergulatan Musik Indonesia, Asik atau Pelik?

Oleh : Tim Website | | Source : ITS Online

Ilustrasi Musik (sumber gambar: voaindonesia.com)

Kampus ITS, Opini – Jagat permusikan Indonesia akhir-akhir ini karib dengan istilah penikmat senja dan peminum kopi. Lagu-lagu sendu dan galau mulai digandrungi muda-mudi masa kini. Entah karena cocok dengan suasana hati atau lirik yang puitis menjadikan lagu indie mulai digemari.

Berbicara tentang perkembangan genre musik di Indonesia, sejak diresmikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono lewat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013, musik Indonesia terus berkembang. Perkembangan tersebut tak lain dan tak bukan menuju ke arah globalisasi yang semakin lapang. Akibatnya, musik-musik khas Indonesia seperti mulai hilang.

Ditambah munculnya aplikasi pemutar musik daring seperti spotify dan joox yang menjadikan musik khas Indonesia semakin tenggelam. Sempat muncul lagu Karna Su Sayang yang dinyanyikan oleh Near dan Dian Sorowea dari Indonesia wilayah timur, namun juga tak bertahan dan kembali terpendam. Seakan musik dalam negeri kembali bungkam.

Terlepas dari itu semua, tahun 2020 menjadi tahun kebangkitan bagi musik tanah air. Tak peduli soal RUU Permusikan yang banyak diperdebatkan, lagu daerah kembali pun dalam genggaman. The Godfather of Brokenhearth kembali dengan tembang andalan. Menghidupkan musik Indonesia dengan lagu yang mewakili perasaan. Lagu khas Jawa kembali bersenandung hingga penikmat musik pun terhanyutkan.

Mulai dari cidro, banyu langit hingga pamer bojo menjadi tembang Campursari yang sedang melekat di kalangan fans militan yang menyebut dirinya ‘Sobat Ambyar’. Dengan cepat fenomena ini menyebar, tak peduli tua dan muda pun kini tersihir tanpa sadar. Sehingga memang benar jika sekarang disebut sebagai masa dimana lagu Indonesia kembali berkibar.

Penelitian di Kanada tahun 2011 yang diterbitkan jurnal Nature Neuroscience menyebutkan, mendengarkan musik dapat menurunkan suasana hati yang buruk. Pantas saja milenial mulai melirik genre musik yang selalu melibatkan emosi jiwa, yang konon katanya lebih mewakili kisah hidup mereka. Lantaran penikmat senja yang tadinya kita tunjuk lebih memilih musik yang membuat hati bercampur aduk. Payung Teduh dan Fiersa Besari pun menjadi salah satu penyanyi yang dirujuk.

Setengah disanjung setengah berpaling. Sebab demam tiktok menjadikan musik Indonesia jadi miring. Serba-serbi remix acap kali jadi musik terasa asing. Benar memang, lagu-lagu lama kembali booming namun tidak bagi lagu daerah yang tetap hening. Negatifnya lagu barat kembali gemerencing diputar di berbagai jejaring.

Melihat kondisi ini, semua kembali pada suatu kondisi, seperti siklus yang tak berhenti. Seharusnya hal tersebut tetap seru untuk dinikmati, tapi pergelutan musik Indonesia dengan pembajakan dan royalti yang tak kunjung menemukan solusi, hingga pada 9 Maret kali ini tak banyak yang tahu bahwasanya Hari Musik Nasional sedang diperingati.

Maka, sekiranya dengan diperingatinya Hari Musik Nasional ini  saya harap kita bisa bersama-sama mengapresiasi karya musisi tanah air. Hindari konsumsi musik bajakan agar tak terjadi saling sindir dan apresiasi musisi dengan memberikan royalti agar karyanya untuk musik Indonesia tak pernah berakhir.

 

Ditulis oleh:

Mukhammad Akbar Makhbubi

Mahasiswa S-1 Perencanaan Wilayah dan Kota

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait