Kampus ITS, ITS News – Memberikan sentuhan manis untuk interior rumah, kini tak akan terasa sulit lagi bagi kita semua. Pasalnya dalam Workshop Tie Dye Cushion yang diprakarsai oleh Departemen Desain Interior Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), kita akan diajak mengenal keterampilan yang sederhana namun apik untuk menghias ruangan.
Bagi yang belum familier dengan tie dye, kriya ini merupakan seni yang terdiri dari dua kiat utama yakni tie yang berarti ikat dan dye yang artinya celup. Pemateri lokakarya ini, Lea Kristina Anggraeni ST MDs lantas menjelaskan tie dye sebagai sebuah keterampilan untuk menghasilkan corak pada kain dengan cara mengikat dan kemudian mencelupkannya ke pewarna.
Sambungnya, berbagai corak yang dihasilkan oleh kerajinan ikat celup ini lantas memiliki penikmatnya masing-masing. Dan pengapilkasiannya pun dapat dituangkan ke dalam beberapa objek, mulai dari serbet, bean bag, sarung bantal, tirai, hingga bed cover. “Untuk workshop kali ini kita akan memakai sarung cushion yang memiliki variasi hiasan dan mendukung tampilan interior,” ujar dosen Departemen Desain Interior ITS ini.
Perempuan yang kerap disapa Lea ini, tak lupa menerangkan berbagai macam teknik ikat celup yang dapat diterapkan. Di antaranya yakni menali, meremas, melipat, serta menekan, yang mana setiap cara tersebut akan menghasilkan corak uniknya sendiri. Dan dalam praktiknya tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk memadupadankan dua atau lebih cara di atas.
Tak hanya itu, Lea juga menjelaskan bahwa dalam pembuatan tie dye dapat pula memanfaatkan bantuan alat untuk menghasilkan coraknya. Seperti pipa, batu, kelereng, penjepit kertas, dan lain sebagainya. “Pipa digunakan untuk membuat motif garis-garis, sedangkan kelereng digunakan agar muncul motif bulat-bulat,” paparnya.
Perlu diketahui juga, tie dye sendiri ternyata punya sebutan beragam di berbagai negara. Sebagaimana Indonesia menyebutnya dengan jumputan dan sasirangan, di Jepang istilahnya yaitu shibori, ada pula mudmee di Thailand, hingga India dengan bhandani-nya. “Sebenarnya cara dan tekniknya hampir sama, namun yang membedakan terletak pada kekhasan dari masing-masing pewarnaannya,” ungkap dosen yang sudah mendalami tie dye semenjak masa kuliah ini.
Dan untuk workshop ini, Lea memilih teknik shibori yang teknik pewarnaannya terbilang sederhana bagi seorang pemula. Yakni cukup dengan menggunakan satu hingga dua warna yang bernuansa indigo. “Pada kali ini, kami menyediakan warna biru dan kuning,” tuturnya.
Ketika peserta memulai pekerjaan masing-masing, Lea menekankan bahwa apapun hasilnya tidak ada yang namanya kesalahan. Setiap tie dye menghasilkan motif uniknya sendiri, hanya saja yang tetap perlu diperhatikan adalah keoptimalan dalam proses ikat dan celupnya. Kerapatan saat mengikat serta lamanya waktu pencelupan kain ke pewarna menjadi hal yang krusial. “Untuk itu, kami menggunakan kain primisima yang tipis dan mudah menyerap cairan,” terangnya.
Penanggung jawab workshop ini, Sarah Destisela berharap kerajinan tie dye ke dapannya makin dikenal masyarakat serta mampu meningkatkan gairah setiap orang untuk menghias interiornya sendiri. “Usai dari sini diharapkan peserta mendapat ilmunya secara menyeluruh dan dapat mempraktikkannya,” pungkas mahasiswa Departemen Desain Interior ITS ini. (ai/yok)
Kampus ITS, ITS News — Menjawab tantangan perkembangan teknologi komunikasi masa kini, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menghadirkan Program Studi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah