Kampus ITS, Opini — Sejak Desember 2019, virus Corona mulai menjadi momok bagi seluruh dunia. Bagaimana tidak? Virus yang konon berasal dari Wuhan, Tiongkok ini, hingga kini telah menginfeksi lebih dari 214.894 orang di 152 negara. Bak sebuah domino, virus yang dikenal dengan nama resmi COVID-19 pun menggulirkan ketimpangan di berbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Ia turut menjadi biang keladi dalam memperkuat diskriminasi, khususnya bagi orang-orang Tionghoa.
Tak bisa dipungkiri, rasisme selalu menjadi momok bagi toleransi, lebih-lebih hadirnya pandemi COVID-19 kali ini yang turut memperkeruh suasana. Oleh karenanya, tulisan yang dibuat dalam rangka memperingati Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia ini akan membahas mengenai hal yang ditimbulkan dari merebaknya virus Corona di berbagai penjuru dunia berdasarkan aspek sosial.
Adanya COVID-19 membuat manusia secara sadar maupun tidak sadar mulai mengistirahatkan diri dari keramaian. Mereka menghindari mall-mall, pusat perbelanjaan, pasar, kafe, dan tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi titik penyebaran virus Corona. Tak hanya itu, mereka juga mulai menjaga jarak dengan individu lain. Lebih-lebih, dengan orang-orang keturunan Tiongkok atau orang Asia, baik yang tinggal di Eropa, Amerika, maupun di Asia sendiri.
Sentimen negatif yang dilayangkan kepada penduduk Wuhan dan Tiongkok, secara general telah merambah luas dan menebal seiring dengan bertambahnya jumlah pasien pengidap Corona. Gelombang rasisme terhadap etnis Tionghoa juga telah menyebar, baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Dilansir dari CGTN, seorang keturunan Tionghoa mengunggah foto kedua orang tuanya di depan mobil pada jejaring sosial Facebook. Kemudian, foto itu mendapatkan komentar bernada negatif. “Tetaplah di Cina sampai flu itu benar-benar pergi. Terima kasih,” tulis komentar salah satu warganet.
Kasus lain juga terjadi di Inggris, berdasarkan artikel yang diterbitkan oleh CNN Indonesia, orang-orang yang hendak makan di suatu restoran akan menanyakan apakah ada warga Tiongkok atau Asia yang bekerja di restoran tersebut. Jika didapati terdapat warga Tiongkok atau Asia yang bekerja di restoran tersebut, pelanggan tersebut akan meninggalkan restoran dan enggan makan di sana.
Tidak hanya orang-orang Tionghoa, diskriminasi ras ini dialami hampir seluruh orang Asia. Hal tersebut lantaran Tiongkok merupakan negara yang berada di benua terbesar itu. Xenophobia atau ketakutan terhadap orang asing, khususnya orang Asia, mulai merambah ke negara-negara di benua tetangga.
Direktur Regional Amnesty International, Nicholas Bequelin mengatakan bahwa tindakan diskriminasi di seluruh dunia sempat terjadi atas warga Wuhan. Meskipun tidak terjangkit virus, kehadiran warga Wuhan selalu ditolak. Bahkan rumah penduduk yang disinyalir berasal dari Wuhan ada yang dipasang barikade.
Media besar BBC juga turut menyoroti fenomena menyedihkan ini, mereka menceritakan salah seorang warga keturunan Shana Cheng, warga Paris keturunan campuran Vietnam-Kamboja, mengatakan kepada BBC bahwa dirinya sempat dipermalukan oleh penumpang bus. “Ada perempuan China! Dia bakal menulari kita. Dia harus pergi,” katanya menirukan penumpang bus yang telah mempermalukannya.
Selain itu, orang-orang memandangnya dengan muka jijik seolah-olah Shana terjangkit virus corona. Padahal seperti yang ia ceritakan, Shana bahkan tidak memiliki keturunan Tionghoa. Mendengar cerita Shana itu, saya menyimpulkan bahwa gelombang rasisme berada di tahap kegentingan.
Selain contoh-contoh di atas, banyak sekali kasus diskriminasi ras yang dilaporkan, contohnya di Kanada, Perancis, Amerika Serikat, dan belum lagi asumsi-asumsi liar yang bertebaran di media sosial. Kini, dunia memandang seolah-olah masyarakat Tiongkok atau Asia identik dengan orang-orang yang menyebar virus berbahaya tersebut.
Dari keadaan yang terjadi tersebut terlihat jelas rasa kemanusiaan yang mulai terkikis karena sebuah pandemi. Padahal, mengingat kenyataan, tidak semua keturunan Tionghoa merupakan orang Tiongkok (China mainland). Banyak dari mereka yang bahkan lahir dan tumbuh di luar Asia. Mekanisme pertahanan diri tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat semena-mena terhadap ras lain sebab tidak semua orang Tionghoa (suku) adalah penduduk asli Tiongkok (negara).
Upaya preventif berupa pencegahan jalur datang dan masuknya virus memang perlu dilakukan, seperti memutus jalur penerbangan atau transportasi dengan Tiongkok. Namun, lihatlah dengan siapa kalian berhadapan dan bertatap muka. Tidak perlu melakukan tindakan berbahaya yang merugikan suatu ras tertentu seperti perundungan atau ujaran kebencian. Mengutip perkataan Robby M di akun media sosialnya (@captainmoai), bersama-sama, kita cegah penyebaran. Bersatu, kita hentikan diskriminasi. Selamanya, kita mendukung keadilan untuk semua. “Fight the virus! Not the people!”
Ditulis Oleh:
Yanwa Evia Java
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News – Dikenal sebagai daerah penghasil ikan, Kampung Sontoh Laut di pesisir Surabaya masih terbatas dalam
Kampus ITS, ITS News — Sebagai upaya mengapresiasi kinerja dan kontribusi organisasi mahasiswa (ormawa), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS, ITS News — Prestasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus mengalir hingga penghujung tahun 2024 ini. Kali
Kampus ITS, ITS News — Menuju 67 tahun Deklarasi Djuanda, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) undang guru besar dari