Kampus ITS, Opini – Tak banyak orang tahu perihal kualitas sinematografi. Sebatas menonton film di bioskop sudah dianggap mengapresiasi. Semata hanya sebagai ajang adu gengsi. Apalagi jika menyangkut industri film produksi sendiri, selalu dibandingkan dengan milik luar negeri. Apa yang salah dengan industri film Indonesia saat ini?
Menelisik kembali ke belakang, masyarakat Indonesia mulai mengenal film pada 5 Desember 1900 dimana surat kabar “Bintang Betawi” memuat iklan tentang Pertoenjoekan Besar jang Pertama di Hindia Belanda. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa itu film sudah mulai masuk ke wilayah pribumi. Disinilah kisah film luar negeri banyak diminati dan dikonsumsi.
Memang wajar film luar negeri diapresiasi sebab kualitas yang tersaji sudah tak diragukan lagi. Namun, film produksi anak negeri juga tak kalah dengan prestasi. Hanya saja beberapa stigma negatif masih saja menghantui. Faktanya banyak film Indonesia menembus industri film luar negeri, bahkan mendapatkan penghargaan serta apresiasi.
Contohnya saja film garapan sutradara Timo Tjahjanto, The Night Comes For Us menjadi film Indonesia pertama yang berhasil masuk salah satu platform Over The Top (OTT) yang berpusat di Los Gatos, California yaitu Netflix. Lalu ada Sekala Niskala (The Seen and Unseen) karya sutradara Kamila Andini yang berhasil memenangi penghargaan kategori Generation Kplus International Jury pada Festival Film Internasional Berlinale 2018 di Berlin, Jerman.
Tak hanya itu, Garin Nugroho melalui film Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) memenangkan penghargaan Cultural Diversity Award Under the Patronage of UNESCO pada perhelatan Asia Pacific Screen Awards ke-12 di Brisbane, Australia. Hingga, ada pula film bergenre art movie seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang berjaya di festival film dunia dan diganjar sejumlah penghargaan Internasional.
Sayangnya film-film diatas masih tak mampu menarik minat penonton lokal dan kalah bersaing dengan film garapan Hollywood. Mengutip dari katadata.co.id, film Indonesia saat ini sudah menguasai sekitar 40 persen film yang beredar di tanah air dengan peningkatan jumlah penonton 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Indikasi ini menunjukkan bahwa film karya anak bangsa sebenarnya mampu bersaing dengan film-film produksi Hollywood, tetapi tetap saja tidak bisa mengalahkan jumlah penonton film box office dari Amerika.
Usut punya usut, kualitas film yang menjadi penyebabnya. Apa hanya unsur kualitasnya? Atau adakah unsur lainnya? Menurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), kualitas film di Indonesia berkutat pada keragaman konten yang selama ini menjadi tantangan. Tak heran jika genre film drama, komedi dan horor masih mendominasi layar lebar Indonesia, paling tidak dalam periode 2016 hingga 2018.
Data film Indonesia menunjukkan bahwa satu dari empat judul film yang tayang di bioskop adalah film bergenre horror yang kerap disisipi unsur komedi dan konten sensual. Terasa sangat monoton dan terkesan tidak ada nilai yang bisa dijual.
Secara sederhana, genre dalam film dapat diartikan sebagai kategori yang berbasis pada kesamaan dalam narasi dan/atau emosi yang mungkin dialami oleh penonton. Dalam perspektif yang lebih sempit, film Indonesia lebih banyak memilih genre untuk dipakai membaca keragaman konten sehingga menjadikan ini lebih problematis, entah mungkin ada beberapa alasan dibaliknya. Hal inilah yang menjadikan kualitas suatu film dirasa layak atau tidak untuk dipilih dan ditonton khalayak penyuka film.
Namun pada dasarnya kualitas film di Indonesia harus dilihat dari berbagai sudut pandang yang ada. Entah dari jumlah dan reaksi penontonnya ataupun muatan konten yang disajikan dalam suatu film. Jika dipikir lagi, kualitas ini sebenarnya tergantung pada pelaku sineas yang secara langsung terjun dalam setiap garapan film. Sehingga kualitas film di Indonesia ditentukan oleh sumber daya manusianya.
Kendati demikian, perfilman Indonesia menjadikan jumlah perolehan penonton sebagai indikator dalam menilai kesuksesan dan kualitas film nasional. Bahkan, informasi tentang jumlah penonton suatu film yang diperbaharui secara berkala selama film tersebut tayang di bioskop, mulai menjadi bahan konten pemasaran terkini yang dilakukan oleh produser dan sutradara.
Dengan mempublikasikan perolehan penonton yang fantastis, suatu film seolah-olah ditampilkan sebagai suatu karya terkini yang menarik dan penting tuk ditonton agar individu baik penggemar film atau bukan, paling tidak, akan mempertimbangkan untuk menonton filmnya.
Sangat wajar bila hal itu terjadi sebab sekarang semua bisa dijadikan bisnis. Bukan rahasia umum jika perfilman Indonesia sudah menjadi industri yang meraup keuntungan materil. Tidak masalah jika sekarang sudah menjadi industri perfilman sendiri, sepatutnya hal itu juga dibarengi dengan perbaikan kualitas film di tanah air yang terjadi.
Jika kita telisik ke belakang hingga saat ini, film Indonesia sejatinya mengalami peningkatan. Namun hal tersebut masih dirasa kurang sebab peningkatannya dirasa masih belum signifikan. Hal tersebut terjadi juga dilatarbelakangi oleh kurangnya apresiasi kepada filmmaker. Pengembangan industri perfilman juga masih kurang disoroti oleh pemerintah, hanya ada badan-badan kecil yang menaunginya.
Belum lagi dengan banyaknya filmmaker yang susah untuk bereksperimen akibat terganjal ruang dan modal yang minim serta dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Antara mengikuti idealisnya namun tak cocok dengan pasar atau film yang monoton dan tidak ada pengembangan tetapi laku dipasaran.
Banyak dari mereka juga kurang tertarik memasarkan filmnya di industri lokal. Mereka lebih banyak melempar karyanya ke festival film luar negeri. Mungkin saja ini bergantung pada pemikiran dan sisi independensi filmmaker masing-masing. Mereka juga lebih suka membuat karya dengan selera mereka daripada hanya hidup monoton dengan pasar penonton yang begitu-begitu saja.
Tentunya dengan peringatan Hari Film Nasional yang jatuh setiap tanggal 30 Maret, bisa mendorong kita sebagai penikmat film tanah air agar lebih mengapresiasi sebuah film yang sudah maupun akan rilis dan tayang. Bukan sekadar ikut-ikutan dan adu gengsi yang nantinya hanya menjadi sebuah bagian yang kurang bermanfaat.
Teruntuk sineas di Indonesia, jangan pernah merasa puas, perbanyak inovasi dan terus menghasilkan karya-karya positif di industri ini agar perfilman tanah air semakin berkembang. Tak hanya sekadar membuat film yang berkualitas, namun juga harus laku di pasaran dan memiliki pesan moral yang baik pula untuk masyarakat. Mari bersama bangun film Indonesia menjadi yang lebih baik dengan menjawab segala tantangan.
Ditulis oleh:
Mukhammad Akbar Makhbubi
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),