Kampus ITS, Opini – Tidak dapat dipungkiri, digitalisasi telah merubah cara kerja kehidupan menjadi lebih instan. Sebagai contoh saat berkirim pesan, mereka yang lahir sebagai generasi baby boomers dan generasi X rela menunggu berminggu-minggu dalam balutan kerinduan. Sedangkan, kita yang lahir sebagai generasi milenial dan generasi Z sering merasa risau dengan WhatsApp yang hanya centang biru tanpa ada balasan dalam waktu satu jam.
Kalau dianalisis, di sinilah duduk permasalahannya. Hasil survei Study Finds pada 2000 orang di Britania Raya menunjukkan bahwa rata-rata diantara mereka menjadi frustasi setelah menunggu 16 detik untuk memuat halaman website, dan 25 detik untuk menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Dengan kata lain, digitalisasi telah merubah kita menjadi generasi yang tidak sabar.
Masih menyoal ketidaksabaran, acara reuni dan bertemu teman semakin menjadi pelampiasan. Bukanya membangun komunikasi secara langsung, kita cenderung menggunakan gawai untuk mendekatkan yang jauh. Fenomena semacam ini menurut Chuck Nice, telah menimbulkan tsunami komunikasi. Dan semakin ke sini, digitalisasi layaknya rantai besi yang memasung manusia di dalam gawainya.
Tidak bisa dipungkiri, digitalisasi mampu membuai penyandang disabilitas dengan lahirnya Alexa buatan Amazon. Sebuah mesin pintar yang bisa berkomunikasi dengan manusia dan seringkali memudahkan penyandang tunanetra untuk mengenal barang yang dibawanya. Meskipun di Amerika sendiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa benda ini terafiliasi dengan agen rahasia bernama Central Intelligence Agency (CIA) dengan kesepakatan perusahaan dan agen mencapai 600 juta dolar Amerika Serikat. Di sini, kemajuan teknologi secara tidak langsung telah merenggut privasi.
Tak usah jauh-jauh ke luar negeri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga berencana mengganti Pegawai Negeri Sipil dengan robot kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Jokowi berencana menggantikan eselon III dan eselon IV kementerian dan lembaga pemerintahan dengan AI dalam rangka memangkas birokrasi yang berbelit-belit. Hal ini tentunya harus disambut positif untuk menciptakan pelayanan masyarakat yang responsif.
Namun, yang wajib ditanyakan, apakah pergantian kedua eselon tersebut tidak akan berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran Indonesia yang berada di angka 5,28 persen dari populasi penduduknya? Ah bayangkan saja, di Asia Tenggara kita kalah dari Kamboja yang tingkat penganggurannya 0,1 persen. Kemudian disusul oleh Laos sebanyak 0,6 persen, Thailand 1,1 persen, Myanmar 1,6 persen, Vietnam 2,15 persen, dan Singapura 2,3 persen. Rasa-rasanya sudah tertinggal jauh bukan?
Pada dasarnya kita sepakat bahwa digitalisasi mampu meningkatkan kesejahteraan umat manusia di Indonesia. Namun perlu diingat, hal itu hanya dapat tercapai jika teknologi yang ada dapat ditempatkan dan difungsikan sebagaimana mestinya. Jangan sampai berbagai kemudahan yang telah ditawarkan di era digital ini justru merampas kebebasan manusia baik dari segi privasi, keamanan, sosial, maupun dari ekonomi.
Ditulis Oleh:
Hani Thalib
Mahasiswa Departemen Teknik Perkapalan
Angkatan 2017
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)