Kampus ITS, Opini – Kala pandemi sedang merambah luas seperti COVID-19 saat ini, menjaga kondisi masyarakat agar tetap kondusif merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Contohnya pada akhir pekan lalu, terdapat kabar burung mengenai asal mula bunyi dentuman keras yang dirasakan oleh warga Jakarta dan sekitarnya. Berbagai spekulasi tersebut membanjir media massa meski belum terbukti keabsahannya, hingga masyarakat pun dibuat panik seketika.
Dan salah satu dugaan yang paling santer diperbincangkan datang dari fenomena erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi selang beberapa jam sebelum bunyi dentuman itu muncul. Informasi ini pun lantas diluruskan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang dilansir dari kompas.com, menyatakan bahwa aktivitas vulkanik gunung yang berada di Selat Sunda ini tidak terlalu signifikan kekuatannya untuk mampu menciptakan bunyi dentuman keras tersebut.
Selain itu, warganet bernama Fazlur Rahman coba ikut menjelaskan kesalahan logis dari dugaan tersebut melalui ilmu fisika. Dalam akun twitter-nya, ia menjelaskan waktu delay yang dibutuhkan bunyi dentuman tersebut untuk sampai di Jakarta jika asalnya dari Gunung Anak Krakatau adalah 7 menit. Dengan permisalan jarak kedua tempat tersebut kurang lebih 150 km dan kecepatan suaranya sebesar 340 m/s. Dari perhitungan ini sudah jelas bahwa Gunung Anak Krakatau yang erupsi pada Jumat (10/4) pukul 22.59 WIB, bukan menjadi dalang dari dentuman keras yang terdengar oleh warga Jakarta pada Sabtu (11/4) pukul 02.00 WIB.
Selanjutnya, duguan lain dari warga dunia maya yang cukup menyita perhatian adalah fenomena skyquake yang dijadikan alasan dibalik terjadinya dentuman keras tersebut. Namun, dilansir dari voi.id, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tidak bisa mengklaim bahwa fenomena yang sering terjadi akibat benda luar angkasa yang masuk ke atmosfer bumi menjadi sebab dari dentuman keras tersebut.
Melihat perdebatan mengenai kehebohan saat ini, yang menjadi sorotan bukan tentang teori yang mengupas asal suara dentuman tersebut. Melainkan soal cara masyarakat memandang fenomena ini dengan alasannya masing-masing. Dua contoh tanggapan warganet di atas merupakan sebuah bentuk pemikiran masyarakat yang layak untuk dipertimbangkan oleh masyarakat yang lain karena keabsahannya.
Sedangkan, banyak juga ditemui cuitan warganet yang terkesan asal dan tidak berdiri di atas alasan yang logis. Masyarakat seperti ini cenderung mengaitkannya dengan hal-hal yang berpotensi menambah keresahan bagi masyarakat lainnya. Bukannya membantu menenangkan keadaan di kala wabah COVID-19 yang semakin merebak, mereka malah melahirkan pikiran negatif untuk masyarakat.
Seorang psikolog dari University of California (UC) Irvine yang mempelajari studi tentang pendapat dan pengambilan keputusan, Peter Ditto, mengatakan bahwa banyak orang yang cenderung tidak menyatakan pendapatnya berdasarkan sebuah alasan tertentu. Melainkan hanya mengikuti emosinya semata dalam menyikapi persoalan yang terjadi. Dan mereka para penebar keresahan dalam masyarakat saat ini lah yang dimaksud oleh Peter Ditto.
Setidaknya setiap dari kita memiliki pikiran negatif, pikiran tersebut akan memproduksi sebuah kanal yang menjadi standar dalam otak kita. Kanal tersebut menuntut otak kita untuk terus menerus berpikir negatif dan menjadikan semua kemungkinan yang relevan dengan pikiran tersebut terpatri di dalamnya. Hingga akhirnya, otak kita pun menjadi reaktif menilai segala sesuatu dari sisi negatifnya.
Akibatnya jika kita terlalu mengikuti pikiran negatif tersebut, maka dapat memicu stres dan rasa kewalahan bagi diri kita sendiri. Tak hanya itu, penelitian dari King’s College London pun menyebutkan bahwa pikiran negatif yang berulang meningkatkan risiko terkena penyakit alzheimer. Studi tersebut pun menyatakan bahwa pikiran negatif akan mengurangi kemampuan otak untuk berpikir dan membentuk memori.
Oleh karena itu, daripada menggunakan pikiran negatif untuk mencari kebenaran dari sebuah masalah/kejadian tertentu. Lebih baik menggunakan kemampuan berpikir rasional, supaya pemikiran negatif yang ada dapat digiring dan diubah menjadi positif. Menurut Ricetto dan Tregoe (2001) pada buku berjudul Analytical Processes for School Leaders, berpikir secara rasional adalah kemampuan untuk mempertimbangkan aspek dan menganalisis relevansi informasi yang berhubungan dengan suatu kejadian, baik yang berupa fakta, opini, maupun data.
Dengan menerapkan kanal berpikir rasional dalam otak kita, rasa panik bukan lagi menjadi respon pertama yang kita keluarkan dalam menyikapi sebuah fenomena. Melainkan, kanal tersebut menuntut kita untuk menelaah fenomena tersebut dan berselancar mencari informasi yang relevan. Hasilnya, kita pun dapat memberikan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ditulis oleh:
Astri Nawwar Kusumaningtyas
Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Kimia
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan memicu masalah seperti eksploitasi berlebihan dan kurangnya perhatian
Surabaya, ITS News — Terus menunjukkan dukungannya terhadap perkembangan perusahaan rintisan berbasis teknologi (startup) sekaligus menjadi bagian dari persiapan
Kampus ITS, ITS News — Banyaknya bencana alam yang terjadi di sejumlah belahan dunia termasuk di Indonesia, akhir-akhir ini, perlu
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tidak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga aktif mendukung