Kampus ITS, Opini – Sama halnya dengan fisik, mental yang sehat juga memengaruhi performa seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, alih-alih mengunjungi psikiater, terkadang seseorang memilih melakukan diagnosis diri untuk mengetahui kondisi mentalnya saat ini.
Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dapat dikatakan sehat mental apabila memiliki kemampuan untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki, menghadapi permasalahan sehari-hari dan bekerja secara produktif. Selain itu, memberikan kontribusi yang baik terhadap masyarakat juga menjadi kriteria yang harus dipenuhi.
Bagi saya sendiri, kesehatan mental ibarat garis horizontal. Semakin ke kiri, semakin bernilai negatif. Semakin banyak banyak tekanan, semakin berpotensi pula mengalami gangguan mental. Maka dari itu, tidak ada pembagian saklek untuk mengatakan seseorang sehat atau terganggu mentalnya.
Kecenderungan Melakukan Diagnosis Diri
Self diagnosis atau yang saya sebut sebagai diagnosis diri merupakan upaya untuk mendiagnosis atau menentukan jenis penyakit berdasarkan informasi yang diperoleh secara mandiri. Informasi tersebut dapat berasal dari teman, keluarga, pengalaman sakit di masa lalu, ataupun dari internet.
Rajnish Mago, salah satu psikolog di India mengatakan, informasi tersebut, khususnya yang berasal dari internet bukanlah patokan untuk menyimpulkan kondisi kesehatan mental seseorang. Informasi itu hanya digunakan untuk menambah pengetahuan. Selebihnya, kesimpulan akhir tidak dapat ditetapkan berdasarkan diagnosis diri, melainkan harus ditanyakan pada yang lebih ahli.
Alasannya, diagnosis diri dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Diagnosis diri juga dikhawatirkan mengabaikan gejala-gejala lain yang tidak terlihat. Dan parahnya, pelaku diagnosis diri akan melakukan pengobatan dengan cara yang salah. Tak jarang juga melabeli diri dengan kondisi mental yang kurang baik.
Adapun seseorang yang melakukan diagnosis diri disebabkan karena beberapa hal, seperti tidak memiliki biaya, tidak adanya waktu luang, serta sulitnya mengakses pelayanan kesehatan. Selain itu, jumlah tenaga medis yang relatif kecil juga menjadi alasan sulitnya masyarakat mendapatkan penanganan psikiater dan psikolog secara langsung.
Lebih lanjut, menurut data Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia, jumlah psikolog klinis pada Mei 2019 sebanyak 1143 orang yang mayoritas tersebar di Pulau Jawa. Begitu juga dengan jumlah psikiater yang hanya sekitar 800 orang. Hal ini bertolak belakang dengan negara Paman Sam yang sudah mempunyai 25 ribu psikiater dan 170 ribu lebih psikolog klinis pada tahun 2017.
Kiat Hindari Efek Negatif
Menilik beberapa kondisi di atas. diagnosis diri tidak dapat dipungkiri akan terus dilakukan oleh masyarakat. Untuk itu, saya merangkum beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak negatifnya bagi kesehatan mental.
Pertama, evaluasi setiap informasi yang didapat dari internet. Tidak semua informasi yang ada di internet bisa ditelan mentah-mentah, terutama hal-hal yang berhubungan dengan gangguan mental dan gejala-gejalanya. Oleh karena itu, langkah yang dapat dilakukan adalah mengakses situs-situs yang terpercaya dan disarankan oleh para tenaga medis profesional.
Kedua, cobalah untuk mengeluarkan isi pikiran yang mengganggu kepada seseorang yang paham mengenai isu kesehatan mental. Selain itu, ikuti komunitas serta kegiatan seperti seminar yang bergerak di bidang tersebut. Karena semakin banyaknya informasi yang didapat, semakin luas pula wawasan mengenai kesehatan mental.
Ketiga, konsultasi ke psikolog atau psikiater. Kiat ini merupakan opsi yang paling aman dalam mengatasi gangguan mental, terutama apabila seseorang sudah merasakan gejala-gejala yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan orang tersebut memiliki akses untuk bertemu dengan tenaga medis profesional.
Terakhir, berusahalah untuk mengontrol diri. Dengan kondisi Indonesia yang sangat minim psikiater dan psikolog, maka kontrol diri menjadi opsi yang dapat dilakukan sedini mungkin. Intinya, tidak hanya berusaha untuk mengobati saja ketika sudah mengalami gangguan mental, tetapi juga melakukan tindakan preventif selama kondisi kesehatan mental masih baik.
Isu kesehatan mental bukanlah hal yang sepele. Semoga tulisan ini dapat memberi kesadaran bahwa seseorang yang mengalami gangguan mental membutuhkan bantuan moral untuk bangkit dari keterpurukan. Berikan penanganan terbaik, bukan malah dihakimi dengan stigma negatif. Dan, it’s okay not to be okay saat kita sedang mengalami gangguan mental. Tetaplah berusaha untuk bangkit kembali. Sebab, kehidupan akan terus berjalan dengan tantangan yang berbeda-beda.
Ditulis oleh:
Husin Muhammad Assegaff
Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Informatika
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)