Kampus ITS, Opini – Kebohongan, omong kosong, dan bualan menjadi salah satu budaya dalam sebuah komunikasi. Manusia mengetahui kebenaran ini dan berimplikasi. Masing-masing mengambil tempat sebagai pembicara dan penerima informasi. Seakan lazim, omong kosong bagi kebanyakan orang agaknya mudah dikenali dan dihindari. Tanpa membenarkan omong kosong dan manipulasi, nyatanya fenomena ini pun belum memunculkan banyak perhatian khusus hingga menarik penyelidikan berkelanjutan sampai saat ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), omong kosong memiliki padanan kata dengan cakap angin, dalih, celoteh, imajinasi, dan bual. Seorang pendengar barangkali beranggapan bahwa omong kosong hanya menjadi angin lalu dan tidak perlu diyakini kebenarannya.
Jika menilik arti dalam KBBI, omong kosong memang lebih mudah diinterpretasikan sebagai sebuah kebohongan. Akan tetapi, apabila pendengar mencoba mendengarkan dengan saksama dan tanpa bias, sesungguhnya omong kosong dapat diasumsikan sebagai sebuah improvisasi dari pengucapnya.
Mengutip seorang filsuf ternama, Max Black, omong kosong tidak dirancang untuk memberi pendengar kepercayaan yang salah tentang apa pun yang menjadi topik pembicaraan. Akan tetapi, tujuan utama dari omong kosong lebih kepada memberikan pendengar kesan yang salah tentang apa yang terjadi dalam pikiran pembicara.
Black menghadapi masalah dalam membangun definisi omong kosong secara langsung. Ia pun mendefinisikan omong kosong secara lebih formal sebagai kesalahan representasi yang menipu, tipuan singkat, perkataan atau perbuatan yang melebih-lebihkan. Dalam definisi formal lainnya, omong kosong juga berkaitan dengan kesalahan representasi dari pikiran, perasaan, maupun perbuatan seseorang.
Menurut Black, omong kosong dimaksudkan untuk menipu atau membohongi, bahwa sebuah pemikiran digambarkan secara keliru dengan sengaja. Dengan kata lain, kesalahan representasi. Jika muncul suatu masalah dan sebuah tipuan dianggap perlu sebagai solusi untuk menyelesaikannya, di sinilah sebuah omong kosong menjadi kebutuhan konseptual yang dapat difungsikan.
Dalam hal ini, siapapun bisa saja menyimpangkan informasi yang ia berikan dengan memberikan ambiguitas dalam perkataannya, mengingat bahwa ia memiliki pemikirannya tersendiri yang berbeda dengan pendengar lainnya. Tujuannya semata hanya untuk mendorong pendengar agar menangkap maksud yang salah dari informasi yang diberikan.
Omong kosong digambarkan pula sebagai kebohongan yang singkat dan padat. Hampir mirip dengan definisi sebelumnya, omong kosong bisa jadi merupakan bentuk lain dari kebohongan yang tidak disengaja. Kendati tidak disebut sama, kebohongan dan omong kosong merupakan hal yang mirip.
Dalam pandangan Black, sebuah kebohongan tidak bisa dikatakan kebohongan. Kecuali pernyataan yang salah telah dilontarkan dan ia mempercayai jikalau pemikirannya adalah hal yang benar. Lain lagi dengan kebohongan. Seseorang dapat disebut berbohong bahkan ketika apa yang ia ucapkan adalah suatu kebenaran, ketika ia yakin bahwa pernyataannya itu salah.
Tidak bisa dipastikan apakah omong kosong digunakan lebih sering pada saat ini ketimbang periode yang lalu. Menurut Harry Gordon Frankfurt dalam The Journal of Philosophy, komunikasi saat ini memiliki bentuk yang lebih beragam ketimbang zaman sebelumnya, tetapi proporsi omong kosong mungkin saja tidak meningkat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa penerapan omong kosong dalam komunikasi saat ini bisa jadi lebih masif, mengingat manusia lebih kompetitif daripada era-era sebelumnya.
Omong kosong menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari, terlebih ketika seseorang perlu berbicara tanpa memahami apa yang dibicarakan. Dengan demikian, omong kosong dapat diucapkan dengan mudah setiap kali seseorang memiliki keharusan untuk membicarakan topik yang berada di luar pemahamannya. Hal ini secara teori sah-sah saja, selama omong kosong yang disampaikan relevan dengan topik tersebut. Fenomena ini lebih mudah dijumpai di kalangan jurnalis yang diharuskan berpengetahuan luas.
Max Black tidak menggambarkan omong kosong sebagai sesuatu yang berbahaya. Namun, jika kita menengok lebih jauh, proliferasi sebuah omong kosong bersumber dari bentuk sifat skeptis. Yang mana sifat inilah yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan akses terhadap kebenaran dan menolak kemungkinan mengetahui kebenaran tersebut.
Ketika seseorang secara sadar meyakini hal tersebut, ia tidak akan tertarik untuk menyangkal ketidakbenaran dalam pengetahuannya, sekalipun disodorkan dengan bukti-bukti riil yang bersifat objektif. Alih-alih setuju, ia akan mencari representasi yang sama untuk memberikan representasi yang ia anggap lebih masuk akal, seakan-akan ia harus bersikap jujur dibalik omong kosongnya.
Ditulis Oleh :
Dya Nur Mangzila Subechi
Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Lingkungan
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)