ITS News

Kamis, 14 November 2024
17 Juni 2020, 19:06

Dosen ITS Kembangkan Riset Nano Chitosan untuk Pengobatan Covid-19

Oleh : itsmis | | Source : https://www.its.ac.id/
Dosen-ITS-Kembangkan-Riset-Nano-Chitosan-untuk-Pengobatan-Covid-19

Yuli Setiyorini ST MPhil PhD Eng menunjukkan riset hasil pengembangannya berupa nano chitosan yang bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19

Kampus ITS, ITS News – Makin banyaknya pasien yang terpapar wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), menyebabkan banyak peneliti di seluruh dunia melakukan riset untuk menemukan pengobatan yang mujarab. Tak terkecuali, salah satu dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang juga turut andil dalam melakukan riset teknologi berupa nano chitosan dengan metode baru.

Adalah Yuli Setiyorini ST MPhil PhD Eng yang dibantu oleh Sungging Pintowantoro ST MT PhD Eng selaku Kepala Laboratorium Pengolahan Mineral dan Material, Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem ITS. Keduanya melakukan kolaborasi sejak tahun 2010, fokus mengembangkan chitosan sebagai material untuk aplikasi medis dan industrial dengan metode yang ramah lingkungan dari bahan baku lokal.

Dosen Teknik Material dan Metalurgi ini menjelaskan bahwa chitosan merupakan biopolymer, polisakarida linier yang terdiri dari β-(1 → 4) yang terdistribusi secara acak D-glucosamine (unit terdeasetilasi) dan N-asetil-D-glukosamin (unit asetat). Riset chitosannya ini merupakan chitosan yang tidak menggunakan bahan kimia (green technology) dengan memanfaatkan energi dari gelombang mikro. Sehingga produk yang dihasilkan sudah pada skala nano partikel (nano chitosan) dan memiliki sifat perbaikan jaringan yang lebih cepat. “Ini merupakan produk chitosan dengan metode proses yang baru,” ungkapnya.

Dosen yang akrab disapa Rini ini juga memaparkan, chitosan metode baru ini menggunakan bahan baku kulit udang dan limbah organik lain yang mengandung chitin seperti cangkang kepiting, beberapa cangkang binatang laut, serangga serta tumbuhan jamur dan alga. Bahan baku kulit udang ini dipilih sebab jumlah limbahnya di Indonesia yang melimpah.

Selama ini olahan limbah kulit udang tersebut hanya berkisar untuk pakan ternak dan campuran pelet makanan binatang, Karena itu ia memilih limbah kulit udang untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat. “Sebab kalau tidak diolah malah dapat memicu terjadinya gas methane yang berbahaya,” ujarnya.

Rini mengatakan, riset ini berawal dari kesulitannya dalam mendapatkan produk chitosan dengan kualitas medis yang sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan di Laboratorium Pengolahan Mineral dan Material yakni pengembangan tissue regeneration dari material nonbiologis untuk memiliki sifat biologis, sehingga dapat menuju pada proses wound healing (tissue regeneration).

Menurut Rini, ini merupakan kunci sukses pada bidang biomaterials, khususnya pengembangan medical devices for replacement yang salah satunya berupa implant. “Untuk dapat mengurangi kegagalan penggunaan medical devices replacement dalam tubuh,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Rini menyampaikan bahwa pencarian material yang memiliki potensi tersebut jatuh pada chitosan yang memiliki banyak sifat untuk aplikasi medis seperti antibacterial, antiviral, wound healing, antiinflammation, antioxidant, biodegradable, biocompatibility, non-toxic dan masih banyak lagi. Untuk diketahui, potensi sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh proses pembuatan atau produksi chitosan itu sendiri

Meskipun chitosan sudah banyak diperjualbelikan di pasaran, lanjut Rini, namun belum tentu sifatnya sama persis atau kualitas dan performanya sama. Perlu pengkajian dalam proses pembuatannya hingga ia menemukan banyak kekurangan terutama pada tingkat efisiensi dan ramah lingkungan.

Produk chitosan hasil risetnya ini menggunakan proses yang berbeda tanpa bahan kimia, tetapi dengan memanfaatkan gelombang mikro. “Dengan teknik yang berbeda pada proses konvensional yang menggunakan bahan kimia, alhamdulillah properties (sifat) chitosan juga berbeda,” tutur alumnus Curtin University of Technology, Western Australia ini.

Dosen-ITS-Kembangkan-Riset-Nano-Chitosan-untuk-Pengobatan-Covid-19

Penampakan fisik nano chitosan dengan proses gelombang mikro

Lulusan doktor dari Institute Materials for Research (IMR), Tohoku University, Jepang ini juga membeberkan bahwas chitosan yang ia kembangkan bukan hanya untuk aplikasi medis, namun juga bisa diaplikasikan untuk industri pengolahan makanan, industri pertanian, industri perikanan, tekstil, kertas, sampai biosorption logam tanah jarang dan logam berat lainnya. Tapi yang paling utama adalah menciptakan kemandirian dalam membuat dan memproduksi sendiri dari bahan baku lokal dalam rangka meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan proses yang murah dan ramah lingkungan.

Produk chitosan hasil duetnya bersama Sungging ini diharapkan berkualitas medis dengan tingkat efisiensi yang tinggi, murah dan ramah lingkungan. Secara tidak langsung, hal tersebut menjawab tantangan isu dalam proses pembuatan chitosan yang saat ini masih belum efisien. Produk chitosan milik Rini ini beberapa sudah diuji baik uji in-vitro maupun in-vivo. Chitosannya ini juga telah diaplikasikan sebagai dental filler, bone cement, implant coating, antibacterial dan therapeutic agent.

Selain itu, dikatakan Rini, pengujian secara klinis juga sudah dilakukan kepada pasien sukarela dengan trackrecord medis yang sudah tidak mampu lagi ditangani oleh dokter. Serta ada beberapa pasien yang memang tidak memiliki asuransi kesehatan tetapi penyakit yang diderita membutuhkan biaya yang besar seperti kanker, diabetes, bacterial diseases, virus diseases, Covid-19 dengan penyakit bawaan (penyerta), dan pneumonia serta beberapa penyakit lainnya.

Untuk penanganan pasien Covid-19 dengan chitosan sendiri dapat mengurangi replikasi virus dalam tubuh, sehingga memicu naiknya level macrophage, DC (dendritic cell) dan NK (natural killer cell) yang memegang peranan penting dalam memproteksi dari infection virus. Naiknya leukosit seiring dengan peningkatan TNF-α, IL-6, INF-ɤ dan MCP-1, dapat mengaktifkan innate immune cells yang berdampak terhadap peningkatan sekresi cytokines.

Sekadar diketahui, sekresi cytokines berperan penting sebagai antiviral properties. Properties regeneration dari chitosan juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak karena terinfeksi, di mana kerusakan jaringan paru menimbulkan kesulitan bernafas. Ditambah sifat antiinflammation dan antioksidan dari chitosan dapat mengurangi proses peradangan dan oxidative stress selama proses penyembuhan. “Pemilihan chitosan sebagai theraputic agent dikarenakan multi properties yang dimilikinya, yang berpotensi sebagai therapeutic agent multifunction,” bebernya.

Pengujian secara klinis ini dilakukan Rini dengan memberikan chitosan secara gratis untuk terapi bagi yang membutuhkan. Ia juga tetap ingin dapat membantu sesama yang membutuhkan hingga seterusnya, sebagai sumbangsih kemanfaatan ilmu yang telah diperoleh. “Alhamdulillah, chitosan (penelitian) kami memberikan harapan bagi para pasien tersebut dan proses kesembuhan juga sangat signifikan,” tandasnya.

Saat disinggung mengenai kendala risetnya, lulusan ITS tahun 2003 ini mengatakan bahwa biaya produksi dan rumitnya birokrasi kesehatan menjadi kendala terbesar. Sehingg,a ia berharap adanya mitra yang juga memiliki jiwa kemanusiaan dan sosial untuk program gratis chitosan bagi yang membutuhkan terutama bagi masyarakat tidak mampu.

Ia juga menegaskan bahwa mitranya tidak terbatas dari golongan akademisi dan profesional, tetapi juga terbuka untuk industri dan investor. Selain itu ia berharap adanya perubahan kebijakan dan birokrasi yang rumit, sebab hal tersebut sangat menghambat perkembangan riset menuju fase komersialisasi produk.

Harapannya, dari risetnya ini Indonesia tidak lagi bergantung pada produk impor, sehingga kemandirian pada bahan baku lokal yang dapat dikelola dan dimanfaatkan bisa diaplikasikan untuk pemenuhan masyarakat Indonesia dengan proses yang lebih efisien dan ramah lingkungan. “Harapan ke depan, ITS dapat membaca potensi dan prospek dari hasil pengembangan laboratorium-laboratorium yang ada, salah satunya dengan dukungan dan support fasilitas laboratorium di ITS baik itu di departemen maupun laboratorium bersama,” pungkas penerima beasiswa Singapore Airline Scholarship ini. (bob/HUMAS ITS)

Berita Terkait