Kampus ITS, Opini – Sebagai penghilang rasa lelah serta alibi pengobatan, menjadi alasan klise yang kerap digunakan bagi pengguna narkotika. Semua termangsa iming-imingnya, mulai dari pedagang kaki lima hingga kalangan artis yang kaya raya. Tak ada jera bagi pengedar maupun pengguna sebab semua ingin merasakan bagaimana sensasi berdosa.
“Dan narkotika (tika)
Apapun jenismu
Tak akan kukenal lagi
Dan tak akan kusentuh lagi
Walau secuil (secuil)”
Penggalan lagu karya Bang Haji Rhoma Irama diatas hanya secuil harapan yang sebatas angan-angan. Mana tahan makhluk tuhan menghadapi godaan setan yang datangnya dari kiri maupun kanan. Ditambah hidup yang begitu-begitu saja terasa bosan menjadi alasan untuk melakukan apa yang diinginkan. Awalnya sih senang, namun tak sadar bahaya apa yang mengancam. Bahwa apa yang dilakukan akan merusak masa depan akibat kecanduan.
Padahal menurut Undang-Undang (UU) Narkotika pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa narkotika merupakan zat buatan atau pun yang berasal dari tanaman yang memberikan efek halusinasi, menurunnya kesadaran, serta menyebabkan kecanduan. Sudah jelas, menelan barang haram itu merusak kesehatan bahkan kehidupan. Entah kenapa semua tergiur untuk merasakan? Gengsi dengan teman? Apa karena tertekan?
Beberapa sumber menjelaskan bahwa seringkali seseorang terjebak kedalam lembah hitam narkotika hanya karena faktor pertemanan. Seorang teman bisa benar-benar menjadi teman, tetapi juga bisa menjadi lawan. Pasalnya jika tidak mengikuti apa yang dilakukan dalam suatu komplotan pertemanan dikatakan tidak sekawan dan seperjuangan. Akibatnya gengsi menjadi hal yang didahulukan yang pada akhirnya akan menjerumuskan seseorang dalam lembah peredaran. Seketika menjadi incaran kepolisian dan lebih tragisnya harus mendekam di balik jeruji besi sebagai tahanan.
Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), sebanyak 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 persen dari total populasi penduduk dunia dengan rentang usia 15-64 tahun telah mengonsumsi narkotika. Angka itu menunjukkan bahwa narkotika bagai dua sisi mata uang yang bisa memberikan manfaat sekaligus juga merusak seseorang. Namun apa hendak dikata jika semua upaya pencegahan sudah dilakukan, tapi tetap saja pengguna dan narkotika jenis-jenis baru terus bermunculan.
Sebut saja narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances/NPS) yang berbentuk sintetis, meniru jenis narkotika yang telah beredar dan dinyatakan terlarang dalam UU Narkotika, seperti kokain sintetis, ganja sintetis, ekstasi herbal, atau N-methoxybenzyl. Otomatis Undang-Undang yang diberlakukan juga perlu dirombak ulang.
Saat ini di Indonesia, penyalahgunaan narkotika sudah masuk dalam tiga kejahatan besar yang membutuhkan perhatian. Penyalahgunaan narkotika memang menjadi hal yang menakutkan apabila tidak segera ditangani, mengingat dampak yang dimunculkan akan sangat mengerikan. Akibatnya dapat mengakibatkan atau memunculkan kejahatan baru, seperti mencuri, merampok dan berbagai tindak kekerasan lain.
Pada dasarnya, sifat umum dari barang haram ini ada tiga, yakni depresan, stimulan dan halusinogen yang ketiganya memunculkan angan-angan tuk dipaksakan seolah-olah sesuai dengan kenyataan walaupun hal itu tidak mungkin terjadi. Sedang sasaran utamanya adalah sistem saraf yang tentu akan merubah tingkat pemikiran maupun kesadaran seseorang. Lebih fatalnya dapat mengakibatkan kerusakan pada organ tubuh, mulai jantung, paru-paru, hati bahkan ginjal.
Sehingga narkotika hanya disarankan dalam kegiatan tertentu seperti kedokteran. Sebab proses medis akan selalu menggunakan jenis narkotika namun dalam dosis maupun takaran tertentu untuk proses pengobatan. Tapi ada saja yang masih menggunakan dengan dalih pengobatan. Padahal sudah jelas pengkonsumsian yang dilakukan hanya menimbulkan efek ketergantungan dan kecanduan.
Sekadar informasi, taraf pengkonsumsian bagi para pengguna akan melalui beberapa tahapan. Diantaranya yaitu pengguna coba-coba, pengguna tetap dan pengguna kecanduan. Fase ini lama kelamaan akan mengalami perubahan yang signifikan dalam keseharian dan pergaulan yang pada akhirnya akan terjadi peredaran semata untuk memperoleh keuntungan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) selaku badan yang menangani kasus seperti ini pun sudah ikut andil turun tangan melakukan upaya pemberantasan dan pencegahan. Namun tetap saja ada celah bagi pengedar tuk melakukan penyusupan barang haram demi memenuhi kebutuhan mereka. Sebab kata mereka, hidup pasti tenang jika ada harta tuk bersenang-senang.
Padahal efek yang ditimbulkan pun sudah jelas disampaikan yakni kematian. Banyak orang berpendidikan pun masih terjerat dalam kasus penyalahgunaan barang haram ini. Ini menunjukkan bahwa peran berbagai kalangan dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah berkembang. Butuh upaya diri sendiri untuk memahami seberapa besar pentingnya masa depan.
Sehingga BNN Republik Indonesia memperkenalkan tagline baru, hidup 100 persen dalam peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) yang jatuh pada 26 Juni. Pesan ini merupakan ajakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih maksimal di segala unsur kehidupan baik fisik, mental, jasmani-rohani, serta dunia akhirat dengan hidup tanpa narkotika. Alhasil kehidupan 100 persen akan memberi kesadaran, kesehatan, produktif dan kebahagiaan tanpa narkotika di tangan.
Ditulis oleh:
Mukhammad Akbar Makhbubi
Mahasiswa S-1 Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),
Kampus ITS, ITS News — Perayaan Dies Natalis ke-64 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) telah mencapai puncaknya di Graha Sepuluh