Kampus ITS, ITS News – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) sebagai perguruan tinggi yang memiliki visi menuju World Class University (WCU), telah mempersiapkan strategi pendidikannya dalam kancah internasional melalui kerja sama beasiswa dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Strategi dalam mengupayakan dana beasiswa bagi program pascasarjana ini dijelaskan dalam webinar bertajuk Sinergi LPDP dan Ditjen Dikti untuk Pendidikan Nasional Bereputasi Internasional, Rabu (26/8) siang.
Dalam gelaran secara daring ini, ITS mengundang Dirjen Dikti Prof Ir Nizam MSc DIC PhD IPM ASEAN Eng dan Direktur Beasiswa LPDP Ir Dwi Larso MSIE PhD sebagai narasumber, serta Rektor ITS Prof Dr Ir Mochamad Ashari MEng. Pada kesempatan tersebut, ITS bersama Ditjen Dikti dan LPDP menyinggung terkait program pemajuan sumber daya manusia (SDM) perguruan tinggi dan konsep revolusi pendidikan yang diusung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Mengawali webinar, Nizam mengemukakan urgensi tentang pentingnya mengasah SDM unggul dan riset-riset yang bisa berguna bagi masyarakat. Dalam keterangannya, Nizam menyebutkan keuntungan yang akan didapatkan Indonesia, yang digadang-gadang akan terjadi pada tahun 2045, yaitu bonus demografi. “Kita mengalami momentum yang luar biasa yaitu bonus demografi, jangan sampai bonus ini tidak dimanfaatkan,” ujar Guru Besar Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Tidak hanya itu, alumnus University of London tersebut juga memaparkan kondisi global di mana intensitas perdagangan internasional semakin mudah dengan transaksi yang serba-digital, barang-barang hasil jual beli dari luar negeri pun bisa datang dalam hitungan hari. Nizam menerangkan adanya polarisasi dan pendekatan bilateral negara-negara di dunia seperti Amerika Serikat dan Inggris yang kembali muncul. “Tantangan-tantangan seperti ini harus dijawab dengan SDM unggul dan inovasi dari perguruan tinggi,” ungkapnya.
Lelaki kelahiran Surakarta tersebut lantas mengungkapkan bahwa selain adanya tantangan global, Indonesia juga memiliki tantangan nasional yang harus dihadapi. Beberapa di antaranya berkenaan dengan permasalahan infrastruktur, kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan), industri manufaktur yang masih bergantung pada lisensi asing, bahan baku industri dan obat-obatan yang masih impor, serta industri ekstraksi dan hasil tambang yang belum diolah di dalam negeri.
Berdasarkan keterangan Nizam, pembangunan infrastruktur sudah seharusnya digenjot untuk mempermudah konektivitas dari darat, laut, maupun udara mengingat komposisi negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Tentunya, perguruan tinggi bisa mengambil peran melalui pikiran-pikiran maupun teknologi yang diciptakan. “Kebutuhan akan teknologi ini sangat nyata ada di hadapan kita, mulai dari kebutuhan dasar manusia, energi, pangan, air, pakaian, kesehatan dan lain-lain,” tuturnya.
Selain itu, Nizam juga menampilkan sebuah konsep Pelajar Pancasila yang digagas Kemdikbud. Pelajar Pancasila mengedepankan enam karakter yaitu beriman, bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong-royong, dan berkebhinekaan global. Ditekankan juga enam aspek dalam mencetak karakter unggul yaitu general education, pengembangan kepemimpinan, pendampingan dosen (dosen penggerak), civic intelligence; responsibility; and participation, entrepreneurial mindset, dan pembelajar sepanjang hayat.
Selanjutnya, Dwi Larso berbicara mengenai tentang pentingnya lulusan perguruan tinggi yang seharusnya mampu memberikan solusi, menjadi mandiri, dan bermanfaat bagi sesamanya juga keluarganya. Dwi menjabarkan terkait lima aspek dari Human Capital. Human Capital modal intelektual yang bersifat kolektif berupa kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan. “Orang yang bahagia, makmur, dan sejahtera itu terikat dengan masalah kapital. Kapital ini adalah masalah tradisional di mana kapital berhubungan dengan pundi-pundi dan properti,” ujar Dwi.
Lektor Kepala Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengemukakan bahwa cara mendorong orang yang secara tradisional tidak kapital yaitu dengan mendorong manusia-manusia Indonesia menjadi mandiri melalui pendidikan. Dari sana, peran pendidik, perguruan tinggi, dan sekolah sangat penting dalam membawa Indonesia menuju kesejahteraan. “Anak didik kita pasti ada yang mempunyai keterbatasan kapital,” kata alumnus Oregon State University Amerika tersebut.
Dwi pun menerangkan konsep Kampus Merdeka yang digagas oleh Kemdikbud, di mana proyek-proyek utama dari Kampus Merdeka ini terbagi atas magang atau kerja praktik, proyek di desa, mengajar di sekolah, pertukaran pelajar, penelitian atau riset, kegiatan wirausaha, studi atau proyek independen, dan proyek manusia. Harapannya, Kampus Merdeka mampu mendorong manusia Indonesia lebih unggul dengan memiliki jiwa kewirausahaan. “Mencari pekerjaan bukan hanya masalah penyediaan pekerja, tetapi juga ketersediaan lapangan kerja,” tuturnya.
Dari ITS sendiri, Dwi menyebutkan jumlah penerima beasiswa LPDP sebanyak 436 orang dan masuk ke dalam 10 besar perguruan tinggi dengan penerima beasiswa LPDP terbanyak di Indonesia. Di mana, jenjang pascasarjana yang diambil berupa magister dengan total 348 penerima dan program doktor dengan penerima sebanyak 88 orang yang tersebar di dalam dan luar negeri.
Mewakili ITS, Mochamad Ashari pun menjelaskan beberapa alasan kenapa ITS sangat mendukung adanya pembiayaan pendidikan bagi program pascasarjana, baik di dalam maupun luar negeri. Pertama, syarat wajib pendidikan terakhir bagi dosen adalah magister. Kemudian, apabila sudah menjadi dosen, perguruan tinggi mendukung sivitas akademikanya untuk mengejar pendidikan lebih tinggi yaitu doktor.
Kedua, pascasarjana di perguruan tinggi, baik itu jumlah dosen maupun jumlah mahasiswa, merupakan indikator mutu perguruan tinggi itu sendiri. “SDM itu sangat penting, kita sudah membuat organisasi yang sangat in line dengan teknologi, tapi kalau pelakunya tidak bisa mengikuti ya susah,” ungkap Guru Besar Teknik Elektro ITS yang biasa disapa Ashari tersebut.
Tidak hanya itu, Ashari juga menjelaskan bahwa mahasiswa pascasarjana adalah peneliti handal dan sangat berkaitan dengan publikasi yang mendukung reputasi internasional. “Mahasiswa pascasarjana akan menjadi tokoh di institusinya kelak pada saat kembali atau apabila menerima mahasiswa internasional, mahasiswa internasional ini kelak akan menjadi decision maker di negaranya,” tutur dosen yang berasal dari Sidoarjo tersebut.
Ashari mendukung adanya beberapa program pascasarjana seperti S3 joint degree, di mana mahasiswa yang mendapat program ini kelak akan bersekolah di dalam dan luar negeri dan menerima dua ijazah berbeda untuk satu strata yang sama. “Perguruan tinggi di Indonesia sangat membutuhkan satu skema support untuk joint degree,” jelasnya.
ITS ingin mendukung kualitas SDM dosen dengan mendorong 500 dosen untuk berkuliah ke jenjang yang lebih tinggi dengan mengadakan doctoral study bridging camp, di mana agenda kegiatannya berfokus pada persiapan mencari beasiswa, mencari supervisor, dan lain sebagainya. “Harapannya adalah institusi penyedia beasiswa bisa kita lanjut untuk bekerja sama, sehingga bisa kita siapkan peningkatan SDM yang berkualitas global,” pungkas Ashari. (jev/HUMAS ITS)
Kampus ITS, ITS News — Teknologi pascapanen memiliki peranan penting dalam menjaga mutu hasil panen sebelum dipasarkan. Peduli akan
Kampus ITS, ITS News — Dalam misi memperkenalkan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kepada masyarakat umum, setiap tahunnya ITS
Kampus ITS, ITS News — Semakin tingginya kebutuhan listrik rumah tangga menyebabkan perlu adanya inovasi sumber energi terbarukan sebagai
Kampus ITS, ITS News — Kesalahan yang sering terjadi pada optimalisasi sistem mesin menjadi fokus Institut Teknologi Sepuluh Nopember