Kampus ITS, Opini – Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api. Itulah baris puisi Chairil Anwar yang ditulis untuk mengenang Pangeran Diponegoro. Barangkali, sama halnya dengan yang kita rasakan saat ini. Usai melewati kentalnya peringatan 10 November, kita pun turut merindukan sosok mereka, sang pahlawan bangsa.
Krisis demi krisis tak ubahnya gulungan ombak dalam badai yang terus menerpa Ibu Pertiwi. Krisis tak berkesudahan inilah yang merobohkan satu persatu sendi bangunan negeri. Namun, krisis sudah menjadi takdir. Ia tak perlu disesali, dikutuk, bahkan dijadikan alasan untuk saling menuding dan menyalahkan. Kita hanya perlu meyakini bahwa masalah tak sepenuhnya berasal dari krisis yang terjadi, tapi pada langkanya eksistensi pahlawan masa kini.
Lain masa, maka lain pula lawannya. Jika para pahlawan terdahulu melawan pasukan NICA hingga mereka yang mengusung semboyan Tiga A, di masa yang serba mudah ini, kita harus melawan perpecahan yang semakin nyata di depan mata. “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri,” begitulah ucap Bapak Proklamator, mengingatkan kita.
Beda jaman, beda pula perjuangannya. Para pahlawan mengangkat senjata demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kini, tugas kita sesederhana menahan jempol yang hobinya menebar ujaran negatif atau ujaran kebencian lewat sosial media. Jangan sampai kebhinekaan dalam keberagaman yang berhasil diraih pahlawan pada masanya, tinggal cerita lantaran anak cucunya yang keras kepala dan tak menumbuhkan toleransi dalam hati mereka.
Lalu di masa pembangunan ini, akankah mereka hidup kembali? Secara harfiah tentu saja tidak. Namun satu yang pasti, nilai-nilai kepahlawanan mereka akan hidup sepanjang masa. Sebab, tanah ini telah dibanjiri keringat dan tetesan darah mereka. Raga mereka membuat kita menjalani kehidupan yang diselimuti kemerdekaan. Begitu banyak yang telah diwariskan, tak terkecuali nilai-nilai kepahlawanannya.
Mereka yang bergelar pahlawan itu sudah menyatu dengan semesta. Mereka yang bergelar pahlawan itu bukanlah manusia suci yang mengemban misi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa dengan mukjizat. Sebab, mereka yang bergelar pahlawan itu adalah orang-orang biasa yang telah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam masa yang panjang, sampai habis waktu berjuang.
Di tengah badai krisis, kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang kata Sapardi telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah. Pahlawan yang kata Chairil Anwar berselempang semangat yang tidak bisa mati. Pahlawan yang kata Anis Matta ada pada setiap orang, di tiap kita, dan beratus jiwa di negeri ini. Maka, meski momentum perayaan Hari Pahlawan sudah kita lalui, jangan pernah berhenti untuk membuat deklarasi. Mari menjadi jadilah pahlawan-pahlawan itu.
Semoga benar adanya, bahwa yang kita rindukan sudah ada di sini. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka. Karena pahlawan bukan sekadar gelar, tapi tindakan. Selamat berproses menjadi seorang pahlawan.
Ditulis oleh:
Tiara Hikmata Billah
Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)