ITS News

Senin, 25 November 2024
21 November 2020, 16:11

Menilai Kelayakan Hutan Indonesia Sebagai Paru-Paru Dunia

Oleh : itsmeg | | Source : ITS Online

Hutan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. (Sumber : Greenpeace)

Kampus ITS, Opini – Di tahun 2013, Indonesia berada di peringkat ketiga hutan terluas versi data Forest Watch Indonesia (FWI). Maka, tidak heran jika kemudian Indonesia dijuluki Paru-paru Dunia. Setelah bertahun-tahun terlewati, apakah Indonesia masih layak menyandang gelar mulia tersebut?

Indonesia sendiri terkenal akan hujan hutan tropisnya. Kondisi geografis yang berada di garis khatulistiwa menjadikan Indonesia rumah yang tepat bagi tumbuhnya berbagai jenis flora dan pohon-pohon besar. Pohon-pohon inilah yang menjadi penghasil oksigen terbesar bagi makhluk hidup.

Lebih dari itu, hutan juga menjadi pondasi penjaga ekosistem dan penopang elemen kehidupan di bumi. Sebab, hutan memiliki peran penting sebagai penyedia air bersih, menurunkan pencemaran udara, pengendalian suhu dan kelembaban, bahkan mencegah bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, hingga tsunami.

Sangat disayangkan, hutan Indonesia kini menghadapi ancaman yang serius. Dikutip dari kbr.id, tim peneliti dari Duke University pada 2019 mengungkapkan bahwa tingkat deforestasi Indonesia masih tinggi sehingga mengundang kekhawatiran global. Salah satu bentuk deforestasi atau penghilangan hutan adalah dengan menebang pohon demi pembukaan lahan baru untuk keperluan industri.

Seakan mengamini hal tersebut, laman idntimes.com melansir data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2019 yang menjelaskan bahwa setiap harinya, terdapat sekitar 50 hektar hutan Indonesia mengalami kerusakan sejak 2007. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang mengalami kerusakan hutan tercepat. 

Tidak ketinggalan, isu mengenai pembukaan lahan besar-besaran untuk kebun sawit di hutan Papua yang tengah hangat dibicarakan seakan menambah bukti bahwa masalah ini bukan sekedar omong kosong. Dikabarkan bbc.com (19/11), ada indikasi bahwa deforestasi hutan dengan cara pembakaran tersebut dilakukan oleh perusahaan besar asing di tanah Papua.

Permasalahan ini tentu tidak bisa dianggap enteng. Pasalnya, pembukaan lahan secara besar-besaran ini memunculkan banyak dampak negatif bagi bumi. Mulai dari hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, peningkatan emisi efek rumah kaca, hingga hilangnya daerah resapan air. 

Belum lagi pengaruh negatif pada kondisi sosial di sekitar yang juga ditimbulkan. Pembakaran hutan Papua di tangan perusahaan asing sendiri membuat kelestarian hutan yang dijaga turun-temurun oleh masyarakat Papua rusak. Terlebih lagi, efek pembakaran yang dapat langsung dirasakan masyarakat sekitar.

Oleh karena itu, momen Hari Pohon Sedunia yang jatuh pada Sabtu (21/11) ini sudah selayaknya jadi pengingat kita untuk bersyukur atas luasnya bentang hutan di negeri ini. Sebagai wujud rasa syukur tersebut, banyak hal kecil yang bisa dilakukan untuk terus menjaga kelestarian hayati. Misalnya, dengan menanam pohon di lingkungan rumah masing-masing atau melakukan gerakan menanam pohon.

Sebab, masa depan pohon dan hutan Indonesia bergantung pada apa yang kita lakukan saat ini. Pohon bisa hidup tanpa manusia, namun manusia tak mungkin bisa bertahan tanpanya. Jadi, mari meningkatkan kesadaran akan masalah lingkungan dan mempertahankan negara kita agar tetap bisa menyandang gelar sebagai paru-paru dunia.

 

Ditulis oleh:

Megivareza Putri Hanansyah

Mahasiswa Departemen Teknik Geomatika ITS

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait