Kampus ITS, Opini – Jam dinding menunjukkan pukul enam. Aku baru saja terbangun setelah sinar mentari mengetuk mataku. Percikan minyak dan aroma tumis sayur dari arah dapur membuatku tersenyum lebar. Bukan karena lapar, melainkan aku tahu bahwa ibuku sedang berada di balik sana. Aku bersyukur atas kehadiran ibu untukku. Terlebih, ibu berjuang sebagai orang tua tunggal. Bagi sebagian orang sepertiku, angka tunggal terasa sangat berharga dibandingkan deretan angka.
Aku membuka pintu dapur. Kupeluk Ibu dari belakang sembari meminta sesuap telur puyuh yang telah ia kupas. Menurut ibu, tindakanku tersebut mirip seperti bayi burung di luar jendela. Aku pun segera mengalihkan pandanganku menuju jendela yang ditunjuk ibu. Tampak jelas keluarga burung parkit telah bersarang di sana.
Di atas sarang itu, terlihat burung parkit betina dan kedua anaknya. Bersama mereka, ada dua cangkang telur yang baru menetas dan satu telur yang masih dalam kondisi utuh. “Lucu sekali, rupanya anak parkit yang kulihat baru saja keluar dari cangkangnya,” gumamku bahagia.
Tidak berselang lama, rasa antusias yang menggebu dalam diriku kian bertambah. Pasalnya, tampak burung parkit jantan baru kembali dari terbangnya. Dengan gagah, ia membawakan buah ceri untuk si betina dan anak-anaknya. Sejak saat itu, dengan gembira, keseharianku selalu kuiisi dengan mengamati keluarga burung parkit ini.
Burung parkit jantan adalah ayah yang baik. Setiap hari, ia selalu berupaya pulang membawakan ceri untuk keluarga kecilnya. Meski demikian, tidak jarang si jantan ini pulang larut malam atau bahkan tidak pulang beberapa hari. Bukan tanpa alasan, aku menyimpulkan, si jantan berpikiran pantang pulang sebelum ceri didapatkan. “Memang benar rasanya, burung parkit adalah jenis burung yang sangat setia pada pasangan dan anaknya,” batinku.
Di satu hari, si jantan tidak lagi terlihat di sekitar sarang mereka. Kuamati, parkit betina tampak lesu dan enggan meninggalkan sarangnya. Sontak kondisi ini pun menyelimuti pikiranku. Pikiran buruk tentang si jantan yang telah mati di perjalanannya dan si betina yang enggan makan sebab ditinggal pasangannya pun memutari isi otakku.
Esoknya, satu telur parkit terakhir berhasil menetas. Kini, parkit betina mulai sering meninggalkan sarang. Ketiga bayi burung itu selalu sendirian dan menunggu kepulangan sang ibu. Rasa resah kembali memenuhiku. “Apakah si betina masih akan pulang? Atau ia pergi mencari jantan lain dan meninggalkan anak-anaknya?” gumamku di depan jendela dapur.
Tiba-tiba ibu menepuk pundakku dari belakang. Ibu mengingatkanku, burung parkit terkenal sebagai burung yang sangat setia. Dahulu, ayahku pernah membuktikannya saat ia memelihara burung parkit lain. Kala itu, parkit betina ia berikan kepada paman dan parkit jantan tetap ia rawat. Tidak berselang lama, si jantan pun sakit-sakitan dan akhirnya mati.
Ibuku melanjutkan, berbeda dengan si jantan, si betina tetap bertahan melanjutkan hidupnya. Bukan tak setia, parkit betina ini tetap berjuang lantaran memiliki anak-anak yang ia cintai. Sudah menjadi prinsip dan insting si parkit betina untuk tetap kuat dan semangat meskipun ditinggal mati parkit jantan. “Lihatlah, parkit betina yang kau khawatirkan telah pulang membawa ceri segar,” ucap ibuku sembari menunjuk kejauhan.
Mendengar hal tersebut, sontak aku memutar wajahku ke arah jendela. Terlihat burung parkit betina langsung menyuapi anaknya satu per satu. Rasanya aku melihat sosok penuh kecantikan dan kehebatan terpancar dari parkit betina itu. “Bahagia, aku sangat bahagia,” sebutku penuh kagum.
Tuhan selalu punya cara untuk membuat makhluknya bahagia. “Meskipun berbeda dengan kebanyakan orang, tetapi yang tidak utuh akan terasa utuh jika kita bersyukur,” pungkas ibu sambil tersenyum menatapku.
Aku belajar banyak hal dari keluarga burung parkit ini. Terlebih, tentang buah Cherry yang meyakinkanku, bahwa rezeki manusia telah dipersiapkan sesuai porsinya masing-masing. Segalanya pasti akan cukup, karena Tuhan-lah yang akan mencukupinya.
burung parkit betina membuatku ingin menjadi anak yang bisa membahagiakan ibu, membuatnya bangga, dan bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Sebelum hal-hal besar itu, aku ingin mewujudkan mulai dari yang terkecil. Kata-kata yang tulus sebagai seorang anak. “Terima Kasih bu, aku sangat sayang ibu,” ucapku yang berbalas senyuman manis darinya.
Untuk semua single mother di dunia ini, menjadi orang tua tunggal tidak menurunkan kemuliaan anda sebagai seorang ibu. Karena sejatinya, salah satu alasan Tuhan menghadirkan kami (anak-anak, red) ke dunia adalah untuk bersyukur. Bersyukur sebab terlahir dari ibu yang hebat. Anda sangatlah berharga bagi kami. Karena bagi kami, angka satu jauh lebih berarti dibandingkan deretan angka.
Ditulis oleh:
Shinta Ulwiya
Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan