ITS News

Sabtu, 27 Juli 2024
12 Januari 2021, 11:01

Mencari Harapan di Tengah Polemik Vaksin Covid-19

Oleh : itszar | | Source : ITS Online

Potret ilustrasi vaksin Covid-19. (Sumber: https://pixabay.com/photos/injection-nurse-hospital-syringe-5722329/)

Menyambut awal tahun 2021, masyarakat Indonesia mulai mendapatkan secercah harapan untuk menyudahi pandemi Covid-19. Setelah dirundung kecemasan lebih dari sembilan bulan, perlahan namun pasti, pemerintah Indonesia semakin dekat dengan upaya vaksinasi. Akan tetapi, alih-alih memenuhi kehadirannya dengan optimisme, publik justru mewarnainya dengan ragam kekhawatiran. Tak ayal, lembaran polemik baru pun mencuat seiring dengan hadirnya vaksin.

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, turut mengejar pengadaan vaksin yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan mancanegara. Tidak hanya satu, hingga artikel ini ditulis, terhitung ada enam jenis vaksin yang akan didistribusikan ke masyarakat. Di antaranya ialah AstraZeneca dari Inggris, Sinovac asal China, Sinopharm/G42 hasil kerja sama China dan Uni Emirat Arab, Moderna dan Pzifer dari Amerika Serikat, serta Bio Farma produksi dalam negeri.

Tercatat, vaksin jenis Sinovac berhasil mendapatkan kesempatan pertama untuk masuk ke Indonesia. Menurut Presiden Joko Widodo, vaksin ini akan dibagikan gratis oleh pemerintah ke 34 provinsi. Adapun berdasarkan hasil analisis sementara, peneliti asal Turki menyatakan jika vaksin jenis ini memiliki 91,25 persen tingkat efektivitas. Di mana, persentase efektivitas tersebut masih dapat berubah sewaktu-waktu.

Kondisi berbeda ditemukan di negara lain. Dilansir dari Kompas.com (28/12/20), barisan negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Kanada, hingga negara berkembang seperti Meksiko justru lebih nyaman menggunakan Pzifer sebagai pilihan utama mereka. Jangan heran, tercatat, vaksin jenis ini memiliki tingkat efektivitas 95 persen. Hal ini turut melahirkan anggapan di masyarakat bahwa Pzifer lebih baik daripada Sinovac.

Lantas, melihat situasi tersebut, apakah masyarakat patut untuk gelisah? Terlebih, tidak mudah bagi publik untuk mendapatkan informasi yang mudah dipahami, baik itu dari pemerintah maupun media mainstream. Perlukah pemerintah membangun ulang kepercayaan publik atas vaksinasi? Satu langkah awal yang diyakini mampu mengakhiri perjalanan panjang pandemi Covid-19.

Melihat Jejak Perjalanan Sebelumnya

Kilas balik sejenak, sejak awal pandemi tiba, publik gusar akan krisis yang kemudian disambung dengan peristiwa panic buying. Tidak hanya itu, ketatnya protokol kesehatan di tengah tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup kian mencekik banyak kalangan. Hal ini kian diperparah dengan labilnya pemerintah dalam menjalankan kebijakan pembatasan sosial. Hingga puncaknya, baru-baru ini, masyarakat dikecewakan dengan kasus korupsi bantuan sosial (Bansos) oleh oknum pemerintah.

Rentetan kejadian tersebut seakan menjadi duri dalam menghadapi babak baru. Saat masa vaksinasi tiba, publik terlanjur skeptis dan terbagi menjadi dua kubu. Salah satu menginginkan vaksinasi agar segera digalakkan, sementara satu lainnya menolak vaksinasi dari pemerintah. 

Tercatat, hasil survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia, Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), World Health Organization (WHO), dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) menghasilkan temuan menarik. Di mana sekitar 30 persen responden survei meragukan keamanan vaksin, 22 persen tidak yakin bahwa vaksin akan efektif, dan 12 persen lainnya takut akan efek samping yang ditimbulkan. Dari sana, terlihat bahwa edukasi pasal vaksinasi Covid-19 masih belum berhasil.

Lebih dalam lagi, hadirnya vaksin ini sulit lepas dari kesan terburu-buru. Masyarakat masih dihantui rasa khawatir atas kabar soal mutasi virus yang tidak mampu diatasi vaksin hingga rumor soal efek samping dari vaksinasi. Pertanyaan lain memutari benak publik. Apakah vaksin yang disalurkan Januari ini mampu mengatasi masalah? Atau justru masyarakat masih harus menunggu vaksin selanjutnya yang lebih mutakhir? 

Berkaca dari negara tetangga seperti Thailand dan Kamboja, keduanya sepakat menolak penggunaan vaksin Sinovac yang dibanggakan pemerintah Indonesia. Kedua negara tersebut beranggapan bahwa Sinovac hanya digunakan pada negara-negara berkembang saja. Oleh karenanya, jangan heran jika timbul pandangan bahwa Sinovac merupakan vaksin yang belum rampung sepenuhnya. Publik lebih memilih untuk bersabar dan menunggu vaksin hasil buatan Indonesia, vaksin Merah Putih.

Strategi yang Pasti di Tengah Pandemi

Bagaimanapun juga, separah apa pun polemiknya, Indonesia harus bangkit dari pandemi. Pasalnya, saat artikel ini ditulis sudah lebih dari 700 ribu orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Mau tidak mau, Indonesia harus berpikir bagaimana cara terbaik untuk bisa mengembalikan siklus ekonomi, kehidupan, kesehatan, dan keamanan seperti sedia kala.

Data survei Kemenkes menunjukkan, terdapat 64,8 persen responden yang bersedia melakukan vaksinasi Covid-19. Tidak berhenti di sana, melalui media sosial, masyarakat masih banyak yang menampilkan respon antusias menanti vaksinasi. Survei tersebut menunjukkan bahwa optimisme serta tekad kuat dari publik untuk bangkit melawan Covid-19 masih sangat besar. 

Memang benar, vaksin Sinovac memiliki keefektifan lebih rendah dibandingkan dengan vaksin utama pilihan negara-negara maju. Namun, tingkat efektivitas lebih rendah ini tidak sepenuhnya berarti bahwa Sinovac masih kalah baik dibandingkan vaksin lain. Vaksin keluaran China ini terkesan demikian lantaran uji coba vaksin tersebut berdasarkan dengan data kemanjuran di Turki yang hanya berdasarkan 1.322 subjek dan kasus infeksi relatif kecil.

Dikutip dari Reuters (28/12/20), Kepala International Vaccine Institute, Jerome Kim mengatakan bahwa sulit untuk menentukan efektivitas vaksin Sinovac hanya berdasarkan 29 kasus positif Covid-19. “Lebih baik jika memiliki sukarelawan yang lebih banyak guna memperkuat data kemanjurannya,” lanjut pria ini yakin.

Sebagai catatan, vaksin Sinovac menggunakan versi non-infeksi dari virus Corona untuk memicu respon imun. Beberapa bulan silam (17/11/20), hasil uji coba awal Sinovac yang diterbitkan The Lancet menunjukkan bahwa vaksin tersebut aman. Akan tetapi, vaksin ini hanya menghasilkan respon imun moderat dengan tingkat antibodi yang tidak lebih tinggi dibandingkan antibodi dari pasien pulih Covid-19.

Dengan pendistribusian bertahap, ke depannya, vaksin ini akan diberikan terlebih dulu kepada pahlawan garda terdepan. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes menyebutkan, ada enam kelompok masyarakat yang menjadi sasaran prioritas vaksinasi Covid-19. Berikut rincian daftar prioritas tersebut:

  1. Kelompok garda terdepan: Petugas medis, paramedis contact tracing, TNI/Polri, dan aparat hukum sebanyak 3.497.737 orang.
  2. Tokoh agama/masyarakat, perangkat daerah (kecamatan, desa,RT/RW), dan sebagian pelaku ekonomi sebanyak 5.624.106 orang.
  3. Guru/tenaga pendidik dari PAUD/TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi sebanyak 4.361.197 orang.
  4. Aparatur pemerintah (pusat, daerah, dan legislatif) sebanyak 2.305.689 orang.
  5. Peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) sejumlah 86.622.867 orang.
  6. Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya sebanyakk 57.548.500 orang.

Setiap orang akan menjalani dua kali vaksinasi dengan jeda waktu 14 hari. Pemberian vaksin akan dilakukan dokter, perawat, serta bidang di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, swasta serta institusi pendidikan. Jika melihat ragam kondisi tersebut, bukankah strategi awal vaksinasi oleh pemerintah ini sudah cukup pasti?

Infografis Kelompok Prioritas Penerima Vaksin Covid-19. (Sumber: CNBC Indonesia)

Apa yang Harus Ditelaah Kembali?

Sudah sepatutnya, pengorbanan dari para pahlawan garda terdepan dalam menangani Covid-19 membuat publik tergerak. Menyadarkan masyarakat bahwa masih banyak orang di luar sana yang sangat membutuhkan berakhirnya masa pandemi. Terlebih, kabar vaksinasi bagi tenaga medis dan pahlawan garda terdepan lainnya seakan mampu memberikan suntikan pengaruh. Kabar ini, tentunya mampu memantik semangat baru bagi mereka semua.

Tidak dapat dipungkiri, pemerintah juga perlu memulihkan kepercayaan publik sekaligus meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan bagi calon pengguna vaksin. Kunci utamanya, pemerintah mulai menggalakkan langkah partisipatif dan transparan dalam menangani pandemi ini. 

Sebagai negara yang demokratis, Indonesia mempunyai elemen utama yaitu partisipasi penduduk. Menurut Dwiyanto, pada bukunya yang berjudul Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, pemerintahan partisipatif dapat didefinisikan sebagai suatu tatanan pemerintahan yang melibatkan publik dalam setiap pengambilan kebijakan.

Jika digalakkan, hal tersebut akan berbanding lurus dengan kepercayaan publik yang akan dihasilkan. Ketika warga percaya kepada pemerintah dan para pejabatnya, maka tindakan tersebut merupakan keputusan yang kognitif. Masyarakat akan dengan rela menyerahkan nasibnya di tangan pemerintah.

Selanjutnya, pemerintah perlu mengasah keterampilan berkomunikasinya agar lebih baik. Bukan rahasia lagi jika rerata masyarakat Indonesia masih malas memperkaya literasi. Kondisi ini turut berimbas pada malasnya publik dalam mencari tahu informasi valid soal Covid-19. Oleh karenanya, sebagai permulaan, pemerintah perlu menerjunkan juru bicara (Jubir) yang mampu mengedukasi masyarakat dengan bahasa yang baik dan mudah dimengerti.

Langkah strategis pemerintah dalam membangun ulang kepercayaan publik perlu didukung secara beriringan oleh masyarakat dengan tidak meremehkan dan tetap menerapkan protokol kesehatan. Meskipun vaksinasi sudah berjalan di kemudian hari, publik tetap wajib mengikuti seluruh perkembangan informasi soal Covid-19 serta menyikapi berita secara bijak.

Sementara itu, pemerintah tidak boleh sekadar mengandalkan vaksin dan beranggapan bahwa vaksinasi dapat mengatasi seluruh masalah di pandemi. Di mana menurut ahli epidemiologi Universitas Airlangga, Dr dr Windhu Purnomo MS, pemerintah juga harus memperkuat pelacakan dan pengetesan guna mendeteksi kasus positif sebanyak mungkin. Ia meyakini, tindakan ini penting untuk memutus rantai penularan secepat mungkin. 

Dalam babak baru menghadapi pandemi Covid-19 ini, mari terus kita kawal dan dukung segala program vaksinasi Covid-19. Selain menjadi langkah terbaik yang dipilih, setidaknya ada usaha nyata yang dilakukan untuk menekan angka persebaran pasien Covid-19 di Indonesia. Kolaborasi antara pemerintah dan rakyatlah yang dibutuhkan saat ini. Pasalnya, kita tidak bisa menuntut suatu sistem yang berjalan jika kita sendiri tidak ada yang bergerak bukan?

 

Ditulis oleh:
Tim Redaksi ITS Online

 

Referensi :

  1. Survey Penerimaan Vaksin COVID-19 di Indonesia oleh Kemenkes, WHO, ITAGI, UNICEF November 2020
  2. Buku Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Dwiyanto, A., 2011
  3. https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/29/123400965/para-ahli-soroti-data-vaksin-covid-19-buatan-sinovac-ini-alasannya?page=all.
  4. https://nasional.kompas.com/read/2020/12/22/18300041/pakar-epidemiologi-80-persen-warga-harus-dapat-vaksin-covid-19-untuk-capai?page=all.
  5. Covid-19 Vaccine Tracker: Latest Updates – The New York Times (nytimes.com)
  6. Piecemeal data releases threaten to undermine Sinovac’s COVID-19 vaccine | Nasdaq

Berita Terkait