ITS News

Minggu, 17 November 2024
17 Maret 2021, 17:03

SRE ITS Kupas Solusi Krisis Iklim Indonesia

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Bondan Andriyanu saat Memberikan Kata Pengantar

Kampus ITS, ITS News – Krisis iklim yang melanda Indonesia telah meningkatkan jumlah bencana hidrometeorologi negara dalam dua dekade terakhir. Maka dari itu, Society of Renewable Energy (SRE) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggandeng Coaction Indonesia untuk mengupas solusi krisis iklim melalui webinar bertajuk Game Changer for Climate Change, Sabtu (13/3).

Mengawali seminarnya, Bondan Andriyanu menjelaskan, banyak riset mengatakan bahwa hanya ada waktu sampai tahun 2030 untuk mengembalikan iklim dunia menjadi lebih baik. Jika umat manusia berdiam diri sampai saat itu, maka kondisi tersebut akan menjadi irreversible. “Maka dari itu, istilah krisis iklim saat ini lebih sesuai daripada perubahan iklim,” tutur campaigner Greenpeace Indonesia ini.

Salah satu akibat dari krisis iklim di Indonesia ialah kegagalan panen di Gresik yang merugikan petani hingga 18 miliar rupiah. Selain itu, menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, tahun 2019 merupakan tahun terpanas nasional dengan musim kemarau lebih panjang hingga dua bulan dari durasi normal. “Indonesia juga merugi 221 triliun rupiah akibat kebakaran hutan, setara dengan biaya rekonstruksi tsunami Aceh tahun 2004,” sambung pria asal Depok tersebut.

Selanjutnya, Bondan menjelaskan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan krisis iklim ini. Pertama, dengan menerapkan Clean Coal Technology (CCT). CCT adalah suatu upaya yang dapat mengurangi emisi karbon dari pembakaran batu bara walaupun tidak sepenuhnya mengurangi emisi tersebut. “Salah satu penerapan dari CCT adalah teknologi desulfurisasi yang berguna mengurangi kandungan sulfur dalam batu bara,” tuturnya.

Contoh pengembangan CCT yang ada di Indonesia ialah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, PLTU yang bertenagakan batu bara ini bertentangan dengan tren global. Lantaran, rencana penambahan unit PLTU di Indonesia di tahun 2028 bertentangan dengan Perserikatan Bangsa Bangsa menyerukan untuk menghentikan pembangunan PLTU Batubara baru setelah 2020. “Maka dari itu, solusi CCT ini menjadi kurang tepat,” tegasnya.

Solusi kedua adalah menggunakan Carbon Capture Storage (CCS) yang merupakan metode mitigasi emisi karbon dioksida. CCS mengurangi emisi karbon dioksida dengan menangkap dan menyimpan gas tersebut ke dalam struktur geologi bawah tanah, serta mencegah gas tersebut terlepas lagi ke atmosfer. “Akan tetapi biaya yang dibutuhkan metode ini terlalu mahal, sekitar 18-24 miliar rupiah, di luar biaya pembangunan pembangkit,” imbuh Bondan.

Bondan Adriyanu saat Mengenalkan Potensi Sumber Energi Terbarukan

Dari solusi-solusi yang ada, pemanfaatan energi terbarukan sebenarnya adalah cara yang paling efektif. Keuntungan energi terbarukan, selain harganya lebih murah daripada batu bara, sumber energinya pun mudah diperoleh dan tersedia secara berkelanjutan. “Sungguh disayangkan karena penggunaan energi terbarukan Indonesia masih sangat kurang dibandingkan negara-negara di dunia,” ibanya.

Di akhir, Bondan mengajak para peserta webinar untuk mengurangi dampak krisis iklim. Pertama adalah menggunakan energi seefisien mungkin. Kedua, menggunakan sumber energi terbarukan. Ketiga, melakukan aksi dan mengajak masyarakat umum untuk peduli lingkungan. Terakhir, mendukung upaya pemerintah untuk beralih ke sumber energi terbarukan. “Dengan kemauan sosial yang kuat, kita dapat mengurangi dampak krisis iklim ini bersama,” tutup Bondan. (*)

Reporter : ion4

Redaktur: Heny Tri Hendardi

Berita Terkait