Kampus ITS, ITS News – Permintaan NH3 (amonia) global semakin tinggi, khususnya di Kawasan Asia Pasifik yang mencapai lebih dari 50 persen permintaan global. Meski demikian, produksi amonia meninggalkan jejak emisi karbon yang cukup besar. Guna meningkatkan pemahaman mengenai hal tersebut, Departemen Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggelar International Guest Lecture dengan mengusung topik Ammonia from Renewable, Kamis (25/3).
Prof Karthish Manthiram yang didapuk sebagai pembicara menjelaskan, amonia berperan sangat penting dalam sebagian besar industri, seperti industri pupuk, logam, plastik, pertambangan, kertas, kulit, dan masih banyak lagi. Sebab fungsinya yang banyak ini, volume produksinya secara global juga tinggi, hampir mencapai 150.000 kiloton “Bahkan emisi karbon yang dihasilkan hampir mencapai 350 ton metrik karbon dioksida ekuivalen. Oleh sebab itu, diperlukan proses alternatif produksi yang berkelanjutan dan terdesentralisasi,” papar pria yang akrab disapa Manthiram ini.
Lebih lanjut, Manthiram memaparkan, produksi amonia merupakan produksi yang tersentralisasi, dimana manufaktur memiliki fasilitas tunggal untuk memproduksi dan mendistribusikan produk mereka. Sebagai akibatnya, infrastruktur distribusi amonia yang buruk, menyebabkan harga pupuk berbahan dasar amonia, terutama bagi negara-negara di Benua Afrika selain Afrika Utara (Sub-Sahara Afrika) mencapai dua kali rata-rata harga global. “Akibatnya, penggunaan pupuk akan rendah dan hasil panen akan buruk, sehingga terjadi malnutrisi yang parah di Sub-Sahara Afrika,” jelasnya.
Proses Produksi Amonia Sebagai Penyimpan Energi
Laki laki yang berfokus di bidang keteknikkimiaan ini menjelaskan, proses produksi amonia yang paling umum digunakan adalah proses Haber-Bosch. Pada proses ini, amonia dibuat dari CH₄ (gas alam metana) sebagai sumber H2 (hidrogen) dengan memerlukan H2O (uap air) dan melepaskan CO2 (karbon dioksida) sebagai produk sampingan. Hidrogen yang dihasilkan kemudian direaksikan dengan N2 (nitrogen) yang kemudian menghasilkan amonia.
Profesor yang bekerja di Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini menambahkan, amonia yang dihasilkan juga dapat berfungsi sebagai pembawa hidrogen (hydrogen carrier). Pemanfaatan amonia sebagai hydrogen carrier ini akan memberikan keuntungan dalam proses pendistribusian hidrogen. “Dengan menerapkan metode tersebut, biaya pendistribusian dapat dipangkas hingga sepersepuluhnya, dari yang awalnya 0,1 USD (United States dollar, red) per kilowatt jam menjadi 0,01 USD per kilowatt jam,” ungkapnya.
Lebih lanjut, metode tersebut juga dapat mereduksi jumlah kehilangan hidrogen akibat kompresi menjadi 2 sampai 3 persen, dibandingkan pendistribusian tanpa amonia yang mencapai sebesar 7 sampai 19 persen. “Dengan metode ini, kandungan energi yang terkandung juga akan meningkat, dari 1,3 kilowatt jam per liter pada tekanan 700 bar menjadi 3,22 kilowatt jam per liter pada tekanan 10 bar” tambah laki-laki yang juga alumnus Stanford University ini.
Mengingat betapa pentingnya peran amonia, akademisi yang masuk dalam Forbes 30 Under 30 in Science ini mengembangkan proses produksi amonia yang berkelanjutan dengan mengembangkan sintesis amonia elektrokimia yang dimediasi litium bersama dengan anggota tim lainnya. Riset tersebut merupakan pengembangan dari jurnal Electroanalytical Chemistry yang diinisiasi Akira Tsuneto pada 1994 silam.
Metode yang dikembangkan oleh Manthiram dan tim yaitu menggunakan reaktor dengan dua pelat yang disusun secara paralel (sel elektrokimia). Sel elektrokimia tersebut melibatkan katoda tembaga dan platina sebagai anoda. Didalam reaktor tersebut berisi larutan LiF4 (litium tetrafluoroborate), THF (tetrahidrofuran), C2H5OH (etanol), serta gas nitrogen. “Proses tersebut merupakan proses kontinu yang terjadi di permukaan elektroda,” jelasnya.
Ia menerangkan bahwa proses tersebut diawali dengan pelapisan ion litium sehingga terbentuk logam litium yang kemudian bereaksi dengan nitrogen membentuk Li3N (litium nitrida). Selanjutnya, litium nitrida akan bereaksi dengan etanol sehingga menghasilkan amonia. “Metode ini memiliki FE (efisiensi faraday, red) mencapai 47 persen dan laju sintesis 30 nanomol per sentimeter kuadrat sekon, dibandingkan dengan metode Tsuneto yang hanya 8,4 persen dan 0,55 nanomol per sentimeter kuadrat sekon,” tambahnya.
Meskipun begitu, metode yang dikembangkan oleh Manthiram dan tim ini hanya memiliki efisiensi energi sebesar dua persen. Kedepannya, ia berharap timnya dapat mengembangkan lagi metode ini, sehingga masalah tersebut dapat teratasi. (*)
Reporter : ion 28
Redaktur : Akhmad Rizqi Shafrizal
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan