ITS News

Rabu, 20 November 2024
19 April 2021, 15:04

Profesor ITS Manfaatkan Prinsip Tanah Tak Jenuh untuk Infrastruktur

Oleh : Tim Website | | Source : http://its.ac.id/
Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng dari Departemen Teknik Sipil yang dikukuhkan sebagai Guru Besar ITS pada 31 Maret 2021

Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng dari Departemen Teknik Sipil yang dikukuhkan sebagai Guru Besar ITS pada 31 Maret 2021

Kampus ITS, ITS News – Karakteristik tanah yang tidak selalu konstan membuat kestabilan infrastruktur turut berubah.  Berdasar hal tersebut, salah satu guru besar (gubes) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng menganalisa dan menerapkan prinsip tanah tidak jenuh dalam rangka menjaga kestabilan infrastruktur.

Penelitian tersebut dipaparkannya dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai gubes ITS, 31 Maret lalu. Profesor bidang Geoteknik tersebut memaparkan terkait perubahan kestabilan infrastruktur dan mengambil topik terkait infrastruktur tanggul.

Dosen Departemen Teknik Sipil ini menjelaskan, stabilitas tanggul akan terjaga bilamana tanah yang menyusunnya sesuai dengan perencanaan awal. “Akan tetapi, kondisi tersebut akan sulit dicapai karena karakteristik tanah selalu berubah seiring perubahan siklus musim penghujan dan musim kemarau,” ungkapnya.

Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng saat menyampaikan orasi ilmiah dalam pengukuhannya sebagai Guiru Besar ITS

Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng saat menyampaikan orasi ilmiah dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar ITS

Sementara itu, penjabaran mengenai tanah tidak jenuh juga diberikan profesor berusia 65 tahun tersebut, di mana tanah tidak jenuh memiliki tiga fase yaitu fase tanah solid, udara, dan air. Namun, tanah tidak jenuh akan lebih baik apabila terdapat fase keempat yaitu fase interaksi udara-air atau contractile skin yang bertindak seperti membran elastis untuk mempengaruhi perilaku mekanis tanah.

Lebih lanjut, Ria berkata bahwa perubahan karakteristik tanah memiliki efek domino berupa terjadinya kelongsoran tanggul. Selain itu, adanya perubahan ketinggian muka air sungai juga menyebabkan kemungkinan longsornya tanggul menjadi semakin besar. “Sebagian besar kelongsoran tanggul di Indonesia diindikasikan sebagai akibat dari perubahan fluktuasi muka air tanah pada saat musim penghujan dan musim kemarau yang bisa berbeda hingga 10 meter,” paparnya.

Pemaparan awal terkait karakteristik tanah tidak jenuh yang memiliki empat fase yang disampaikan oleh Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng

Pemaparan awal terkait karakteristik tanah tidak jenuh yang memiliki empat fase yang disampaikan oleh Prof Dr Ir Ria Asih Aryani Soemitro MEng

Ria menyambung dengan menunjukkan grafik perbedaan kepadatan kering lapangan saat awal tanggul dibangun dengan kepadatan kering lapangan setelah lima tahun pembangunan. Kepadatan kering lapangan sendiri merupakan berat kering per satuan isi atau kepadatan tanah itu sendiri. Dari hasil yang didapatkan, perempuan kelahiran 19 Januari 1956 itu mengemukakan bahwa kepadatan kering lapangan tinggal tersisa 15 persen hingga 25 persen dari kepadatan kering awal dalam kurun waktu lima tahun.

Fenomena tersebut menunjukkan adanya pengaruh musim penghujan dan musim kemarau pada karakteristik fisik tanah melalui siklus pembasahan dan pengeringan. Dalam hal ini, terjadi  penurunan karakteristik drastis yang terjadi antara siklus pertama dan kedua. “Perubahan karakteristik tanah sudah dimulai sejak tanggal dibangun, sehingga secara tidak langsung seharusnya perubahan kestabilan tanggul bisa diperhitungkan,” ungkapnya.

Perbandingan antara kepadatan kering lapangan tanggul pada awal dibangun dalam kurun waktu lima tahun

Perbandingan antara kepadatan kering lapangan tanggul pada awal dibangun dalam kurun waktu lima tahun

Mendapati permasalahan serta bahaya longsor yang mungkin terjadi, Ria menyimpulkan bahwa perubahan karakteristik tanah perlu ditinjau untuk penentuan angka keamanan stabilitas tanggul. Hal ini lantaran perubahan fisik dan mekanik tanah belum banyak dibahas oleh peneliti sebelumnya. “Dari analisis sensitivitas parameter tanah yang sangat berpengaruh untuk angka keamanan adalah kohesi, sementara berat volume tanah lebih tidak berpengaruh,” beber alumnus Nanyang Technological University (NTU), Singapura tersebut.

Ria menyampaikan, adanya proses perubahan penampang sungai dimulai dengan interaksi antara material tanah penyusun penampang sungai dan aliran sungai yang berpotensi mengakibatkan kelongsoran tebing sungai. Adanya kelongsoran tebing sungai ini mengakibatkan perubahan penampang sungai. Dengan demikian, erosi terjadi pada kecepatan aliran 0,3 sampai 1 meter per detik dan material akan mulai terangkut dengan kecepatan aliran antara 0,01 sampai 0,3 meter per detik.

Dengan memperhatikan faktor dan kondisi lapangan, Principal Investigator di MIT Indonesia Research Alliance (MIRA) ini mendapatkan hasil bahwa bahwa laju erosi kumulatif untuk memprediksi erosi tepi sungai sebesar 1,3 meter atau sekitar 6 persen di bawah pengukuran lapangan. “Jadi kita bisa melihat bahwa nilai koefisien erodibilitas yang didasarkan pada penelitian lapangan untuk prediksi perpindahan alur sungai sangat penting,” jelas Ria.

Mengakhiri pemaparan yang disampaikan, Ria memberikan pemahaman bahwa koefisien erodibilitas merupakan faktor yang sangat penting. Perubahan karakteristik tanah terjadi seiring dengan perubahan musim ini dapat menjadi pedoman atau petunjuk untuk mengetahui perilaku perubahan karakteristik tanah di Indonesia. “Untuk penerapannya, perubahan karakteristik ini akan sangat bermanfaat di dalam menentukan angka keamanan stabilitas tanggul,” pungkas penulis buku Karakteristik Tanah Tidak Jenuh tersebut. (HUMAS ITS)

Reporter: Yanwa Evia Java

Berita Terkait