ITS News

Rabu, 02 Oktober 2024
31 Mei 2021, 17:05

Mengulik Ketidaksetaraan Gender Dalam Kampanye Pemberantasan Obesitas

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Ilustrasi obesitas (Sumber: endocrinologyadvisor.com)

Kampus ITS, ITS News – Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan yang berkaitan dengan gaya hidup seseorang. Melalui pola makan yang benar dan olahraga teratur, setiap orang mempunyai tanggung jawabnya masing-masing agar terhindar dari penyakit obesitas. Namun tahukah Anda, beban melawan obesitas masih saja dipandang berat sebelah untuk kaum wanita, sehingga menciptakan ketidakadilan dalam kesetaraan gender.

Assoc Prof Karen Throsby, seorang akademisi dari University of Leeds, Inggris menyatakan, keterkaitan gender terhadap fenomena obesitas ini bukanlah hal yang benar. Sebab faktanya, penyebab terjadinya obesitas sama sekali tidak memiliki hubungan dengan gender. “Awalnya persepsi ini muncul karena kaum wanitalah yang mengatur pola makan di sebuah keluarga,” jelasnya.

Lebih lanjut, wanita yang disapa Karen ini menjabarkan bahwa terdapat tiga teori utama penyebab munculnya persepsi ini. Ketiga teori tersebut merupakan hasil rangkuman sejumlah penelitian baik melalui riset maupun wawancara, diantaranya teori kerentanan feminitas (vulnerable feminity), penyalahan seorang ibu (mother-blaming), dan teori penurunan berat badan sebagai pekerjaan seorang wanita (weight loss as women’s work).

Assoc Prof Karen Throsby membuka pemaparannya mengenai usaha penurunan berat badan dan keterkaitannya dengan peran gender

Dalam teori vulnerable feminity, wanita dianggap rentan mengidap obesitas sebab feminitasnya. Hal ini berakar dari stereotip masyarakat bahwa mereka merupakan makhluk yang lebih emosional dibanding pria. Stereotip ini pun terbawa hingga pola makan, sehingga wanita dianggap lebih emosional, berbeda dengan pria yang lebih rasional dalam kebiasaan makan sehari-hari.

Sementara itu, dalam teori mother-blaming, kasus obesitas dikaitkan dengan peran ibu rumah tangga dalam mengatur pola konsumsi keluarganya. Peran inilah yang dianggap sebagai awal mula dari gaya hidup tidak sehat seorang anak. Bahkan, ungkap Karen, banyak ahli berpendapat bahwa kecenderungan konsumsi makanan manusia dipengaruhi sejak ia belum memiliki kesadaran dalam memilih makanan. “Teorinya adalah, kesalahan seorang ibu dalam memilih makanan saat mengandung, sudah dapat menentukan pola makan sang anak nantinya,” tuturnya.

Karen berargumen, dalam keputusan seorang ibu untuk memilih makanan keluarganya ini, banyak faktor lain yang turut harus dipandang agar tidak asal menilai. Seperti kemampuan finansial yang merupakan penentu kualitas makanan setiap hari, merupakan hal yang harus diperhatikan agar tidak terburu-buru menilai buruk keputusan seorang ibu ini. “Para ahli yang saya sebut di atas tidak mau berpikir lebih jauh hingga akar permasalahannya ini,” katanya kesal.

Tiga teori utama Karen mengenai penyebab munculnya anggapan bahwa penyakit obesitas berhubungan dengan peran perempuan

Dalam pengamatan Karen yang lebih jauh, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa urusan penurunan berat badan merupakan tanggung jawab dan pekerjaan seorang wanita. Seperti yang terjadi di klinik penurunan berat badan, jika sang pasien merupakan seorang wanita, ia akan berkonsultasi aktif dengan sang dokter. Namun sang pasangan pria justru terkesan tidak peduli, bahkan menunggu di luar ruangan. “Andaikata sang pria ikut berada di dalam ruangan konsultasi, ia hanya duduk diam,” tegasnya.

Fenomena yang berbeda terjadi dalam keadaan sebaliknya. Apabila sang pasien merupakan seorang pria, sang pasangan wanitalah yang justru aktif menyimak konsultasi dengan mencatat saran-saran dokter. Bahkan menurut pengamatan Karen, ada beberapa pasien pria yang ketika ditanya menu makan yang dimakannya setiap hari, secara tidak sadar mereka akan memalingkan wajah ke pasangan wanita mereka dan melemparkan pertanyaan tersebut kepadanya.

Fenomena ini menunjukkan tidak adanya keseimbangan peran dalam sebuah keluarga, dimana perempuan dipandang sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan makanan, dan tidak ada inisiatif dari anggota keluarga lainnya untuk meringankan beban tersebut. Inilah yang menjadi alasan terciptanya teori . “Dalam teori weight loss as women’s work, hanya wanitalah yang dibebani tugas memikirkan makanan yang bergizi untuk keluarganya,” paparnya.

Hasil wawancara Karen dengan responden penelitiannya yang menunjukkan bukan hanya perempuan yang dipengaruhi perasaan emosional ketika memilih pola makan

Menutup pemaparannya, Karen menyimpulkan bahwa selama ini pelaksanaan kampanye melawan obesitas masih bersifat politis, dimana perempuan dan kaum kelas bawahlah yang seringkali menjadi target utama. Maka dari itu, perlu bagi masyarakat untuk memandang fenomena ini dari kacamata sosiologis, seperti terkait gender, ras, dan kesenjangan ekonomi. Hal ini akan membantu kita dalam melihat ketidaksetaraan yang kasat mata. “Masalah obesitas adalah masalah bersama, bukan masalah perempuan saja,” pungkasnya. (*)

Reporter : Ferdian Wibowo

Redaktur : Akhmad Rizqi Shafrizal

Berita Terkait