ITS News

Rabu, 13 November 2024
17 Juli 2021, 22:07

Memaknai Hari Keadilan Internasional

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Themis dipadankan dengan Justitia yang dijadikan sebuah lambang dewi keadilan dan hukum sebagai bentuk pelindung keadilan di dunia. (Sumber : Liputan 6)

Kampus ITS, Opini – Hari Keadilan Internasional dianggap sebagai momentum untuk menyuarakan pentingnya penegakan keadilan dan komitmen pemerintah atas penegakan keadilan yang menyeluruh. Oleh sebab itu, sangat penting memaknai hari ini sebagai pedoman bersikap adil pada diri sendiri dan orang lain.

Penetapan tanggal 17 Juli sebagai Hari Keadilan Internasional berangkat dari diadopsinya Statuta Roma pada konferensi terbuka Perserikatan Bangsa Bangsa di tanggal yang sama, dua puluh tiga tahun yang lalu. Sebenarnya, apa itu Statuta Roma dan bagaimana perannya terhadap upaya penegakan keadilan di dunia?

Statuta Roma merupakan salah satu perjanjian internasional yang penting dalam sejarah peradaban manusia. Perjanjian ini berfokus pada peradilan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sebuah perjanjian yang menjabarkan bentuk-bentuk kejahatan internasional, sekaligus perintah atas berdirinya Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). 

Statuta Roma bermula dari gerakan Hak Asasi Manusia (HAM) Universal yang tumbuh akibat kekejaman Perang Dunia Kedua, serta pembantaian di Kamboja yang berlangsung sejak tahun 1979. Pada masa itu, tidak ada yang bisa dilakukan oleh seluruh warga negara, terlebih warga sipil untuk menegakkan keadilan. 

Dengan beragamnya kejahatan manusia ini, maka  sesuai dengan isi Statuta Roma, ICC yang aktif di tahun 2002 diresmikan sebagai lembaga permanen yang memiliki kuasa penuh untuk melakukan yurisdiksi atas orang-orang yang melakukan kejahatan serius. Mulai saat itu, Statuta Roma dan ICC menjadi bagian penting dalam penegakan HAM Universal di dunia.

Lebih lanjut pada saat peresmiannya, pengadopsian perjanjian ini didukung oleh 120 negara dan ditentang oleh 7 negara. Sedangkan,  21 negara lain yang hadir memilih untuk abstain. Perlu saya ingatkan bahwa ‘pemberian dukungan’ dan ‘mengadopsi Statuta Roma’ merupakan dua hal yang berbeda. 

Berdasarkan hukum internasional, perjanjian ini dapat menjadi hukum positif apabila ada persetujuan dari negara lain yang hadir untuk tunduk pada hukum internasional. Oleh sebab itu, Statuta Roma baru dinyatakan efektif pada tanggal 1 Juli 2002, setelah 60 negara mendaftarkan ratifikasinya terhadap ketentuan Statuta Roma.

Berdasarkan hasil rapat tersebut, perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memberikan dukungan dan meratifikasi Statuta Roma. Dalam hal ini, agaknya pemberian dukungan dan ratifikasi terhadap Statuta Roma menjadi elemen krusial bagi penegakan HAM di Indonesia.

Sampai hari ini, kita masih menghadapi kesulitan untuk berjuang melawan dan mendorong pemerintah Indonesia untuk menegakkan keadilan transisi. Saya lihat dari tingkat nasional saja, pemerintah Indonesia tidak menunjukkan keseriusan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan impunitas yang menyertainya. Contohnya pada kasus reformasi 1998, yang meninggalkan duka usai empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh saat melakukan demonstrasi penurunan Presiden Soeharto.

Situasi di Indonesia yang bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma, berimplikasi mendalam terhadap penerapan sistem hukum internasional negara. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia dan pengabaian pemerintah terhadap kepatuhan terhadap hukum internasional dan nilai-nilai hak asasi manusia, yang mengkhawatirkan.

Dibalik hal tersebut, sudah seyogyanya kita paham bahwa nilai  keadilan harus ditegakkan dan ditanamkan di setiap diri manusia. Sebab pada hakikatnya, setiap individu ingin menerima perlakuan yang sesuai dan adil. Tanpa mengurangi kesadaraan pelaksanaan pengadilan bagi mereka yang melakukan kejahatan.

Semoga, momen peringatan ini dapat kita gunakan untuk terus menyuarakan pentingnya penegakan dan komitmen pemerintah dalam upaya penegakan keadilan HAM Universal secara menyeluruh di Indonesia. Juga sebagai wadah bagi kita (mahasiswa; red) untuk berperilaku adil dimulai dari diri sendiri, adil kepada keluarga, teman, sahabat, dan adil kepada orang lain.

 

 Ditulis oleh:

Fauzan Fakhrizal Azmi

Mahasiswa S1 Departemen Fisika

Angkatan 2020

Reporter ITS Online

Berita Terkait